Jumat, 03 Agustus 2007

UNIQUE SELLING POINT DENOK

“Ah kenapa pula kau pilih Denok?” Pertanyaan ini sudah puluhan kali masuk ke gendang telinga Bony Dumatubun, teman di SMA Yoseph, dulu. Padahal banyak cewek-cewek cakep yang antri dan begitu berharap gayung sambut Bony. Di pemandangan saya, Denok hanyalah gadis sederhana dan nggak ada apa-apanya. Nggak cerdas, cantik atau luwes. Tapi aneh, Bony justru begitu tergila-gila padanya. Ketika saya coba iseng mengonfirmasikan ini kepadanya ia hanya tersenyum simpul. Gile bener! Tak tebersit sedikitpun sebuah keraguan dari wajahnya yang bisa saya tangkap.

Saya merasakan, makin tak bisa bisa memahami jalan pikiran Bony. Betapa tidak. Ia laki-laki yang handsome, pintar, baik hati dan anak galgendhu.(sebutan orang kaya jaman doeloe di Solo) Sumpah! Untuk yang terakhir ini, kalau mau, ia dapat membeli dunia baik yang mati atau yang hidup. Tapi sepanjang pengamatan saya, Bony tetap yang saya kenal dulu. Sederhana dan low-profile dalam arti yang sebenar-benarnya bukan seperti akrobat para pejabat di khazanah kebudayaan kita.( gayanya sok low profile tapi tindakannya batil...ah kok ke luar alur sih?).

Tak tahulah, apakah ada korelasi yang positif dan signifikan antara sikap dan tindak seseorang dengan keputusan memilih seorang teman. Yang jelas, sampai kini, Denok masih menduduki peringkat atas di otak bawah sadar dan otak waras Bony. Ini terlihat dari cara Bony memperlakukan Denok. Di buku hariannya, halaman demi halaman selalu bertengger nama Denok tak habis-habisnya. Tulisannya lumayan sih cuman isinya kidung pujaan melulu.

Ngomong-omong lebih lanjut soal Denok, akhirnya saya dapat menemukan sesuatu yang muskil dan jarang ditemukan pada gadis-gadis lain sepantarnya. Untuk sekedar tahu, saya akhirnya melakukan investigasi secara in cognito yang memaksa saya membuang waktu selama tiga bulan. Ia nggak pelit. Ini tak sulit menjabarkannya. Ketika saya sempat beberapa kali hang out dengannya saya selalu ditraktir, meski dalam perjanjian sayalah yang seharusnya ke luar kocek. Itu pula perlakuan yang dirasakan oleh teman-temannya satu gank. Barangkali julukan yang tepat baginya adalah darmawati. Tapi bukan hanya itu, banyak atribut yang menempel pada dirinya. Baik hati, lembut dan romantis, berani mengatakan tidak, berwawasan luas, teman bicra yang enak, suka pecel dan politik, ekonomi dan sastra. Walah! Pokoknya sesuatu yang langka yang jarang ditemukan pada gadis-gadis kota besar seperti Jakarta.

Inilah barangkali USP yang menjadi daya pikat Denok bagi siapa saja sehingga bisa dipastikan setiap laki-laki yang mendekatnya akan jatuh tertunduk terkulai di pangkuannya. Diam-diam saya jadi ngiri pada Bony. “Pantas saja Boni begitu tergila-gila padanya”, gumam saya lirih menjelang tengah malam.

Sepekan kemudian saya telusuri hampir sebagian besar trotoar kota Jakarta. Tak puas sampai di situ, saya pun lantas mendatangi pusat-pusat keramaian, pertunjukan musik, seminar, dan tentu saja tak lupa ke gereja. Untuk apa? Ya barangkali saja saya bisa menemukan Denok yang lain. Pengin sekali rasanya saya menjodohkan Denok lain dengan Bony yang lain. AH!

Tidak ada komentar: