Selasa, 07 Agustus 2007

THEY DON'T CARE

Ya. They don’t care. Itu mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan jiwa mereka. Sebuah bentuk ketidakpedulian terhadap orang lain ketika orang di luar diri mereka mendapatkan sesuatu, entah itu yang sifatnya untung-malang, suka-duka, bahagia-derita dan lain-lain perkara sejenisnya. Hardiman hanya bisa menasehati Darsih, isterinya, “Biar saja mereka begitu, yang penting kita tidak begitu,” katanya, menghibur.

Isterinya pun tampak mengangguk pertanda paham dan setuju. “Saya heran, tetangga-tetangga sekitar yang kelihatannya cuek justru bisa “berbuat baik” kepada kita, ya kang?” tanyanya. “Pernah lho kang, waktu itu saya belanja keperluan dapur di warung belakang. Nah pas mau bayar, eh dompet saya ketinggalan di rumah dan bu Faiz yang nggak pernah lepas jilbab itu buru-buru menalangi belanjaan saya!” jelasnya. “Wuah, itu baru namanya persaudaraan,” timpal Hardiman.

Hardiman merasakan atau lebih tepatnya mempertanyakan makna dari sebuah persaudaraan yang ia pahami dan praktekkan. Mungkin hari ini, akan menjadi titik balik dari perjalanan batin Hardiman yang sebelumnya. Kini, ia tak mau lagi mengkotak-kotakkan seseorang ke dalam warna-warna tertentu. Apa yang selama ini ia definisikan menjadi amburadul dan perlu diredifinisikan lagi. Hardiman makin sadar bahwa sebuah persaudaraan tak otomatis lahir dari satu kesamaan namun terkadang banyak yang lahir dari sebuah perbedaan. Yang menentukan seseorang bisa merasa bersaudara-guyub-peduli, bukan asal-usul, aliran atau agama dan sejenisnya.

Hardiman terus saja “ngudarasa” (berkelana batin). Tetangga-tetangga di gangnya, hampir semuanya telah bertandang ke rumahnya untuk sekedar menengok Sukro--anak lanangnya yang genap satu minggu lahir ke dunia (dan konon, dipaksa menanggung utang delapan juta ulah rejim orde baru), sambil tak lupa meninggalkan bingkisan ketika mereka pulang. Dalam benak Hardiman berkecamuk analisis, rabaan, sebab-musabab tentang kejadian ini.

Persaudaraan macam apakah ini? Padahal dalam berbagai kesempatan, dirinya sering bersama-sama melakukan suatu kegiatan. Lebih dari itu, kegiatan-kegiatan tersebut bersifat transedental, karena memang ia dan mereka satu iman. Dalam hati mulai muncul pengandaian-pengandaian yang sebenarnya kurang pantas ia utarakan di sini. “Apakah aku yang pertama harus memberi khabar kepada mereka dan baru kemudian mereka meresponsnya?” Kalau jawabannya iya, sungguh ini patut disayangkan. Itu berarti, dalam diri mereka tak ada niatan sedikit pun untuk “memberi”, apa pun bentuknya, yang biasa dilakukan oleh siapa pun yang telah memahami makna kata persaudaraan. Sejenak laku batin Hardiman berhenti ketika dari arah belakang isterinya datang menyodorkan secangkir kopi dan pisang goreng kesukaannya.

“ Nih kang, aku buatin kopi dan pisang goreng. Hujan gerimis gini enakan ngopi sambil makan pisang,” bujuknya. “Udah diminum dulu gi, nanti keburu dingin kurang jos, lho!’’, kata isterinya sambil mengamati sikap suaminya yang tak bergeming sedikit pun dari tempat duduknya dan matanya tetap menerawang ke depan. Ada rasa geram yang dipendamnya. Perjalanan hidupnya yang lumayan panjang dilakoninya, kini bagai diurai lagi. Sebagai anak yang dibesarkan di pergaulan kampung yang telah mengenyam paham-paham kegotongroyongan juga perkoncoan (baca: persaudaraan), kini harus menerima paham baru yang tak pernah ia pelajarinya sebelumnya. Nilai persaudaraan sedikit demi sedikit digerogoti oleh nilai-nilai lain yang sulit dipahaminya.

Dalam dirinya, ia mulai membenarkan terori literatur sosiologi yang pernah dibacanya. Semakin maju sebuah masyarakat, semakin maju pula pamrihnya. Masyarakat paguyuban (gemeinschaft)- yang lebih mengutamakan rasa persaudaraan dan nilai kegotongroyongan, akan berangsur-angsur berubah wataknya menjadi masyarakat patembayan (gesellscahft)-yang selalu berkiblat pada untung dan rugi.

Lagi-lagi isterinya menghampiri dari belakang sambil berkata lirih, “Udah kang, orang begitu saja kok dipikirin sampai ngambrah-ambrah.” (sampai jauh dan tidak karuan). Katanya sampeyan sudah punya sikap dan itu pernah ditularkan ke saya, biar orang lain begitu yang penting kita tidak begitu, ee la kok nggak diterapkan, tegas isterinya. “Itu kopinya sudah dingin, wis saya mau ngurusi Sukro,” katanya dan langsung hilang di balik kelambu.

Benak Hardiman tak juga dingin meski kopi yang di depannya jadi benar-benar dingin karena belum disentuhnya. Ampasnya mengendap dan mengental ke bawah. Diteguknya sedikit. Aromanya yang harum dan rasanya yang manis menyegarkan, tak seiring dengan kenyataan pahit yang dirasakannya.

Ketika subuh menjelang, Hardiman bangun, berlutut dan asyik masgul dalam kekusukan doa, seperti kebiasaan kesehariannya. Terdengar lamat-lamat suara dari telaga bening nuraninya. “Apapun yang terjadi, semangat persaudaraan harus dipertahankan demi kehidupan yang lebih baik dan berarti bagi peradaban masa depan!” Lebih baik miskin harta daripada miskin jiwa. Lebih baik miskin pamrih daripada miskin saudara.

Dari dalam kamar terdengar ocehan anaknya yang kini meniginjak umur 7 bulan. "Cacaca...tatata...papapa...mamama...berrr." Hati Hardiman sumringah dan bergegas menghampirinya. Sebuah nilai keindahan hidup--semangat persaudaraan, berhasil dikuasainya kembali dan sebisa mungkin ia terapkan di segala kesempatan. Untuk itulah, setiap kesempatan Hardiman selalu mengucap syukur kepada-Nya. "Orang boleh saja mengaku atau kelihatan beragama namun belum tentu mereka dapat mewujudkannya ke dalam religiositas kesehariannya," katanya menasehati diri.

Itulah hidup, kawan. Kau justru semakin lebih kaya dengan pengalaman (yang tidak mengenakkan) itu. Sebab dari situ kau dapat memilih untuk menjadi seperti mereka atau menjadi dirimu sendiri seturut dengan kehendakNya. Terdengar sang malaikat pamomong berkata lirih kepadanya. Hatinya kembali bersinar terang di pagi yang mendung.

Tidak ada komentar: