Selasa, 07 Agustus 2007

Pembelajaran

Entah angin apa yang datang bertengger di benak isteriku. Tiba-tiba saja ia punya niat menyervis blendernya yang rusak. Padahal sehari sebelumya tukang servis ac sudah datang ke rumah. “Kenapa nggak sekalian diservis tukang ac itu?,” kata saya pura-pura marah. Dengan alasan yang nggak masuk akal ia mengatakan, ” penginnya sih cari yang lebih murah, orang ketika saya nanya ke tukang ac, biayanya 35 ribu.”

Ceritanya siang itu di gang depan rumah saya lewat tukang servis kipas. Dengan mengendarai motor butut, mulutnya lantang mengumandangkan dagangannya, servis kipas-servis kipas. Dasar perempuan, isteriku pun lantas iseng-iseng menyetopnya. Dari dalam rumah ia membawa kipas yang sudah lama 2 tahun ngedongkrok di kamar. Tukang servis itupun lalu membongkarnya. Hasilnya? Ya nggak bisa diservis, wong dinamonya sudah mati. Lalu timbul keisengan yang ke dua, “ Bisa servis blender nggak pak?, tanyanya. “Bisa!”, jawab tukang servis itu. Dibongkarlah blender “sumber kesialan” jadi berkeping-keping. “Wah bu, ini harus dibelikan spare-part baru, soalnya ini sudah nggak bisa dipakai.” Dalam beberapa detik isteri saya terdiam, lalu timbul lagi keisengan ke tiga, “ kalau dibelikan, butuh berapa duit?”. Dasar tukang servis-servisan, ia pun tak sanggup menentukan harga. Ia hanya minta uang 50 ribu. Harganya sih nggak nyampai 50 ribu. “Itu belum termasuk servisnya lho, bu,” katanya menegaskan.

Baru saja isteri saya memberikan selembar uang 50 ribuan, ibu tetangga sebelah datang ikut nimbrung. Dasar perempuan, ia pun tanya ini-itu, dan akhirnya tertarik juga untuk menyerviskan mesin cucinya yang rusak. Tukang servis itu dengan gagah perkasa lalu membongkarnya. Lagi-lagi jurus "pelet" spare-part yang rupanya menjadi andalannya dikeluarkan. “Bu, semua komponen sudah saya servis, hanya selangnya saja yang perlu diganti,” jelasnya kepada ibu tetangga sebelah. Entah bagaimana ceritanya, tukang servis meminta uang 100 ribu.

Jam menunjukkan pukul 15.00 wib. Tukang servis bilang kepada isteri saya dan tetangga sebelah bahwa kemungkinan besar ia nggak bisa menyelesaikan pekerjaannya sore itu juga. “Belinya jauh bu, lagian ini sudah jam 3,” katanya meyakinkan. Sebenarnya isteri saya sudah punya firasat yang kurang baik kepadanya. Jangan-jangan besok nggak kembali.

Benar juga, ditunggu-tunggu dua sampai 3 hari, si tukang servis itu nggak balik-balik lagi. Mendengar ceritanya saya hanya tersenyum simpul rada geregetan, “Lha wong nyervis kok ke orang yang nggak tahu ujung pangkalnya,” celetuk saya sambil nyengenges. Yang saya sesalkan bukan uang 50 ribu yang jelas-jelas hilang tetapi adalah rentetan yang kemudian membawa korban baru, ibu tetangga sebelah rumah. Saya hanya menasehati, lain kali kalo nyervis ya mbok nyari orang yang sudah jelas. Inilah pembelajaran penting minggu ini bagi isteri saya. “Lha wong mau ngirit kok malah ngorot”, saya tertawa sendirian.

Tidak ada komentar: