Selasa, 07 Agustus 2007

Catatan: SUNDAL

Tangis patah kami laju
membelah malam muram
karantina hidup keras jaman ini।

Para konglomerat sadar
namun terus menjadi sundal
bersetubuh dengan setiap ranum usaha.
Dilahapnya manik-manik setiap harapan
tanpa rasa malu।

Sama sekali jauh dari kata cinta.

Butakah mata,
Tulikah telinga,
Matikah rasa?

Kami dengar gonggong liarmu
di pelataran negeri ini,
merobek malam tidur lelap
kelaparan panjang kami.
Kau isap darah-darah merah kami
kau reguk nikmat dari cinta sejati negeri.

Kami hanya bisa menangis
ketika ibu pertiwi kau cabuli.
Kami hanya bisa mengelus dada
ketika ibu pertiwi kau perkosa.

Kau poles dengan gincu, bedak dan celak
Kau undang cukong-cukong asing
untuk memiliki setiap lekuk tubuhnya.
Kau pertontonkan adegan ranjangmu
di depan mata kami, lantas kau pun lantang berkata:
kamilah penggerak ekonomi nasional
dan pahlawan pembangunan jaman ini.

Bumi tempat kami berpijak bergoyang
oleh dentam-dentam keserakahanmu.
Air sumur kami tak lagi menetes
ketika kau bangun sebuah pabrik.
Air kali teracuni dengan limbah-limbahmu
anak-anak kami kau affait a compli-kan
ke dalam pabrik-buruh tenaga murah.
Hutan-hutan gundul
tanah-tanah longsor
mengiringi laju ekspormu.

Kau bakar permukiman kumuh
lalu kau dirikan tonggak kokoh
lengkap dengan para anjingmu:
Di sini akan dibangun pabrik,
dilarang masuk, sesuai perda nomor sekian.

Tidak ada komentar: