Kamis, 06 Desember 2007

TROTOAR (1)

Aku sadar bahwa aku dilahirkan untuk diinjak-injak. Setidaknya itulah pengertianku tentang diriku. Sebagai bagian dari fasilitas kota, jelas aku layak disebut anak kota, sebab yang aku tahu, tak ada kata trotoar yang hidup di kampung-kampung. Hanya saja kini aku mulai gerah lebih tepatnya geram dan geregetan. Meski aku telah menerima kodratku sebagai pihak yang diinjak-injak, aku sering menerima perlakuan yang lebih dari itu. Kalau diinjak kaki, itu mah pekerjaanku tapi di luar itu kini aku harus ditimpa injakan roda motor yang di atasnya bertengger seorang atau dua orang manusia yang menggilasku tak kira-kira. Kalau itu dilakukan oleh orang-orang awam yang bukan penertib lalu lintas, sementara aku masih bisa memaklumi.

Aku sering sedih mengalami itu, sebab tak jarang seseorang yang dengan gagah pakai seragam polisi lalu lintas dengan seenak udelnya sendiri menerjangku dan itu juga menimpa saudaraku si jembatan penyeberangan. Aku sering berteriak keras, namun tak pernah ada yang mendengarnya. Ini hanyalah salah satu sisi yang bisa aku paparkan di sini. Sisi-sisi yang lain selama aku memangku jabatan sebagai trotoar begitu banyak dan bahkan tak terbilang jumlahnya.

Suatu kali aku yang memiliki area jalan utama ibukota, memanggil rekan-rekan trotoar lain yang berada di wilayah jabodetabek untuk sekedar kumpul temu kangen karena sudah sekian lama kami tak pernah bisa berkomunikasi. Dari beberapa yang datang ada tercetus ide untuk mengusulkan sebuah peraturan kepada pejabat daerah setempat agar diberlakukan ketentuan baru. Mereka merasakan kegetiran yang sama seperti yang kualami. Kami telah diperlakukan di luar ketentuan yang seharusnya dibebankan kepada kami. Sekedar contoh saja, kami tak hanya menerima beban dari para pejalan kaki. Fungsi kami telah diperlebar menjadi teba obyek yang makin luas, mulai dari tempat melintas kendaraan roda dua, tempat pacaran, tempat penyusunan rencana jahat, transaksi narkoba, petak umpet para polisi menarik uang damai, mejengnya para psk dan kaum waria, mangkalnya para korlap demonstrasi, dan seuabreg urusan lain di luar pekerjaan kami. Dengan bahasa kami, beberapa kali kami sampaikan keluhan ini kepada para petinggi kota, namun suara kami bagai gaung yang ditelan gurun sahara. Dari hari ke hari, bulan ke bulan , tahun ke tahun, dari rejim lama ke rejim baru, sama saja, kami tetap diperlakukan tidak adil.

Dalam pandangan kami, seharusnyalah yang memakai kami di luar pekerjaan kami dijerat dengan pasal undang-undang sehingga mereka tak akan melakukannya lagi. Namun rupanya, itu tak tersentuh sedikit pun. Yang jelas, setiap kali ada kesempatan kami dibongkar pasang tanpa disertai dengan penegakan peraturan tentang peruntukan bagi kami.

Jumat, 23 November 2007

HIMNE INTERNASIONAL

Sajak: Eugene Pottier
Musik: Pierre Degeyter


Bangunlah kaum yang terhina!
Bangunlah kaum yang lapar!
Mengglora dendam dalam dada,
Kita berjuang 'tuk kebenaran.
Hancurkan seluruh dunia lama,
Kaum budak, bangun, bangun !
Kita yang kini hina-papa,
Akan menguasai dunia.
Perjuangan penghabisan,
Bersatu berlawan!
Internasionale
Pastilah di dunia!
Tiada maha-juru-slamat,
Tidak Tuhan atau raja.
Kebahagiaan umat-manusia
Harus kita sendiri cipta.
Bebaskan jiwa dari penjara,
Rebut kembali hasil kerja.
Kobarkan api, segra tempa
Selagi baja membara!

Perjuangan penghabisan,
Bersatu berlawan!
Internasionale
Pastilah di dunia!
Kitalah kaum buruh dan tani,
Tentara-kerja perkasa.
Bumi hanya milik pekerja,
Benalu tak berhak serta.
Cukup sudah darah-kringat terhisap,
Saat pasti akan tiba.
Setan siluman musnah lenyap,
Surya cemerlang snantiasa!

Perjuangan penghabisan,
Bersatu berlawan!
Internasionale
Pastilah di dunia!

Selasa, 07 Agustus 2007

Catatan: SUNDAL

Tangis patah kami laju
membelah malam muram
karantina hidup keras jaman ini।

Para konglomerat sadar
namun terus menjadi sundal
bersetubuh dengan setiap ranum usaha.
Dilahapnya manik-manik setiap harapan
tanpa rasa malu।

Sama sekali jauh dari kata cinta.

Butakah mata,
Tulikah telinga,
Matikah rasa?

Kami dengar gonggong liarmu
di pelataran negeri ini,
merobek malam tidur lelap
kelaparan panjang kami.
Kau isap darah-darah merah kami
kau reguk nikmat dari cinta sejati negeri.

Kami hanya bisa menangis
ketika ibu pertiwi kau cabuli.
Kami hanya bisa mengelus dada
ketika ibu pertiwi kau perkosa.

Kau poles dengan gincu, bedak dan celak
Kau undang cukong-cukong asing
untuk memiliki setiap lekuk tubuhnya.
Kau pertontonkan adegan ranjangmu
di depan mata kami, lantas kau pun lantang berkata:
kamilah penggerak ekonomi nasional
dan pahlawan pembangunan jaman ini.

Bumi tempat kami berpijak bergoyang
oleh dentam-dentam keserakahanmu.
Air sumur kami tak lagi menetes
ketika kau bangun sebuah pabrik.
Air kali teracuni dengan limbah-limbahmu
anak-anak kami kau affait a compli-kan
ke dalam pabrik-buruh tenaga murah.
Hutan-hutan gundul
tanah-tanah longsor
mengiringi laju ekspormu.

Kau bakar permukiman kumuh
lalu kau dirikan tonggak kokoh
lengkap dengan para anjingmu:
Di sini akan dibangun pabrik,
dilarang masuk, sesuai perda nomor sekian.

CERITA LAMA

Orang Yahudi memiliki cerita tentang dua orang yang mengadakan perjalanan bersama. Satu di antara mereka mengenal Tuhan dan sangat mengasihiNya sedangkan yang lain tidak percaya kepada Tuhan. Mereka membawa seekor keledai sebagai pembawa beban, seekor ayam untuk membangunkan mereka, dan sebuah obor untuk menerangi jalan.
Malam datang menjelang, mereka masuk ke sebuah desa untuk menginap. Namun, seluruh penduduk menutup rapat pintunya dan menolak kehadiran mereka. Mereka meneruskan perjalanan dan sampai di sebuah hutan. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan berkata : “Saya pikir Tuhanmu itu baik, tetapi lihatlah tak ada seorangpun yang menerima kita!”
“Aku yakin Tuhan menyediakan tempat ini bagi kita!”
Sebelum tidur, keledai dan ayam diikat dalam satu pohon, sedangkan obor dipasang di akar pohon besar tempat mereka beristirahat. Tiba-tiba, terdengar auman singa dan ringkikan keledai. Singa itu telah menerkam keledai dan memangsannya.
Kedua orang itu menyelamatkan diri dengan memanjat pohon.
“Itukah kebaikan Tuhanmu?”
“Benar, Tuhan itu baik. Jika tidak ada keledai, pasti kita yang dimangsa.”
Beberapa saat kemudian, terdengar suara ayam ribut. Seekor kucing hutan menerkam ayam tersebut dan memangsanya.”
“Aku tidak mengerti dengan kebaikan Tuhanmu.”
“Sekali lagi Tuhan itu baik. Jeritan ayam telah menyelamatkan kita.”
Dalam suasana dingin dan tegang, tiba-tiba angin bertiup kencang dan obor penerang itu mati. Suasana gelap gulita dan mereka terpaksa tidur di pohon.
“Apalagi yang akan kamu ceritakan tentang kebaikan Tuhanmu?”
Pagi hari berikutnya, kedua orang itu menuju desa yang baru saja mereka lintasi. Namun suasana sepi. Rupanya segerombolan perampok telah menjarah desa.
“Tuhan itu baik. Ia tidak mengijinkan kita tidur di desa ini supaya kita selamat. Dan obor itu mati sehingga perampok tidak mengetahui tempat istirahat kita. Jelas bahwa TUHAN ITU BAIK!”

Pembelajaran

Entah angin apa yang datang bertengger di benak isteriku. Tiba-tiba saja ia punya niat menyervis blendernya yang rusak. Padahal sehari sebelumya tukang servis ac sudah datang ke rumah. “Kenapa nggak sekalian diservis tukang ac itu?,” kata saya pura-pura marah. Dengan alasan yang nggak masuk akal ia mengatakan, ” penginnya sih cari yang lebih murah, orang ketika saya nanya ke tukang ac, biayanya 35 ribu.”

Ceritanya siang itu di gang depan rumah saya lewat tukang servis kipas. Dengan mengendarai motor butut, mulutnya lantang mengumandangkan dagangannya, servis kipas-servis kipas. Dasar perempuan, isteriku pun lantas iseng-iseng menyetopnya. Dari dalam rumah ia membawa kipas yang sudah lama 2 tahun ngedongkrok di kamar. Tukang servis itupun lalu membongkarnya. Hasilnya? Ya nggak bisa diservis, wong dinamonya sudah mati. Lalu timbul keisengan yang ke dua, “ Bisa servis blender nggak pak?, tanyanya. “Bisa!”, jawab tukang servis itu. Dibongkarlah blender “sumber kesialan” jadi berkeping-keping. “Wah bu, ini harus dibelikan spare-part baru, soalnya ini sudah nggak bisa dipakai.” Dalam beberapa detik isteri saya terdiam, lalu timbul lagi keisengan ke tiga, “ kalau dibelikan, butuh berapa duit?”. Dasar tukang servis-servisan, ia pun tak sanggup menentukan harga. Ia hanya minta uang 50 ribu. Harganya sih nggak nyampai 50 ribu. “Itu belum termasuk servisnya lho, bu,” katanya menegaskan.

Baru saja isteri saya memberikan selembar uang 50 ribuan, ibu tetangga sebelah datang ikut nimbrung. Dasar perempuan, ia pun tanya ini-itu, dan akhirnya tertarik juga untuk menyerviskan mesin cucinya yang rusak. Tukang servis itu dengan gagah perkasa lalu membongkarnya. Lagi-lagi jurus "pelet" spare-part yang rupanya menjadi andalannya dikeluarkan. “Bu, semua komponen sudah saya servis, hanya selangnya saja yang perlu diganti,” jelasnya kepada ibu tetangga sebelah. Entah bagaimana ceritanya, tukang servis meminta uang 100 ribu.

Jam menunjukkan pukul 15.00 wib. Tukang servis bilang kepada isteri saya dan tetangga sebelah bahwa kemungkinan besar ia nggak bisa menyelesaikan pekerjaannya sore itu juga. “Belinya jauh bu, lagian ini sudah jam 3,” katanya meyakinkan. Sebenarnya isteri saya sudah punya firasat yang kurang baik kepadanya. Jangan-jangan besok nggak kembali.

Benar juga, ditunggu-tunggu dua sampai 3 hari, si tukang servis itu nggak balik-balik lagi. Mendengar ceritanya saya hanya tersenyum simpul rada geregetan, “Lha wong nyervis kok ke orang yang nggak tahu ujung pangkalnya,” celetuk saya sambil nyengenges. Yang saya sesalkan bukan uang 50 ribu yang jelas-jelas hilang tetapi adalah rentetan yang kemudian membawa korban baru, ibu tetangga sebelah rumah. Saya hanya menasehati, lain kali kalo nyervis ya mbok nyari orang yang sudah jelas. Inilah pembelajaran penting minggu ini bagi isteri saya. “Lha wong mau ngirit kok malah ngorot”, saya tertawa sendirian.

THEY DON'T CARE

Ya. They don’t care. Itu mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan jiwa mereka. Sebuah bentuk ketidakpedulian terhadap orang lain ketika orang di luar diri mereka mendapatkan sesuatu, entah itu yang sifatnya untung-malang, suka-duka, bahagia-derita dan lain-lain perkara sejenisnya. Hardiman hanya bisa menasehati Darsih, isterinya, “Biar saja mereka begitu, yang penting kita tidak begitu,” katanya, menghibur.

Isterinya pun tampak mengangguk pertanda paham dan setuju. “Saya heran, tetangga-tetangga sekitar yang kelihatannya cuek justru bisa “berbuat baik” kepada kita, ya kang?” tanyanya. “Pernah lho kang, waktu itu saya belanja keperluan dapur di warung belakang. Nah pas mau bayar, eh dompet saya ketinggalan di rumah dan bu Faiz yang nggak pernah lepas jilbab itu buru-buru menalangi belanjaan saya!” jelasnya. “Wuah, itu baru namanya persaudaraan,” timpal Hardiman.

Hardiman merasakan atau lebih tepatnya mempertanyakan makna dari sebuah persaudaraan yang ia pahami dan praktekkan. Mungkin hari ini, akan menjadi titik balik dari perjalanan batin Hardiman yang sebelumnya. Kini, ia tak mau lagi mengkotak-kotakkan seseorang ke dalam warna-warna tertentu. Apa yang selama ini ia definisikan menjadi amburadul dan perlu diredifinisikan lagi. Hardiman makin sadar bahwa sebuah persaudaraan tak otomatis lahir dari satu kesamaan namun terkadang banyak yang lahir dari sebuah perbedaan. Yang menentukan seseorang bisa merasa bersaudara-guyub-peduli, bukan asal-usul, aliran atau agama dan sejenisnya.

Hardiman terus saja “ngudarasa” (berkelana batin). Tetangga-tetangga di gangnya, hampir semuanya telah bertandang ke rumahnya untuk sekedar menengok Sukro--anak lanangnya yang genap satu minggu lahir ke dunia (dan konon, dipaksa menanggung utang delapan juta ulah rejim orde baru), sambil tak lupa meninggalkan bingkisan ketika mereka pulang. Dalam benak Hardiman berkecamuk analisis, rabaan, sebab-musabab tentang kejadian ini.

Persaudaraan macam apakah ini? Padahal dalam berbagai kesempatan, dirinya sering bersama-sama melakukan suatu kegiatan. Lebih dari itu, kegiatan-kegiatan tersebut bersifat transedental, karena memang ia dan mereka satu iman. Dalam hati mulai muncul pengandaian-pengandaian yang sebenarnya kurang pantas ia utarakan di sini. “Apakah aku yang pertama harus memberi khabar kepada mereka dan baru kemudian mereka meresponsnya?” Kalau jawabannya iya, sungguh ini patut disayangkan. Itu berarti, dalam diri mereka tak ada niatan sedikit pun untuk “memberi”, apa pun bentuknya, yang biasa dilakukan oleh siapa pun yang telah memahami makna kata persaudaraan. Sejenak laku batin Hardiman berhenti ketika dari arah belakang isterinya datang menyodorkan secangkir kopi dan pisang goreng kesukaannya.

“ Nih kang, aku buatin kopi dan pisang goreng. Hujan gerimis gini enakan ngopi sambil makan pisang,” bujuknya. “Udah diminum dulu gi, nanti keburu dingin kurang jos, lho!’’, kata isterinya sambil mengamati sikap suaminya yang tak bergeming sedikit pun dari tempat duduknya dan matanya tetap menerawang ke depan. Ada rasa geram yang dipendamnya. Perjalanan hidupnya yang lumayan panjang dilakoninya, kini bagai diurai lagi. Sebagai anak yang dibesarkan di pergaulan kampung yang telah mengenyam paham-paham kegotongroyongan juga perkoncoan (baca: persaudaraan), kini harus menerima paham baru yang tak pernah ia pelajarinya sebelumnya. Nilai persaudaraan sedikit demi sedikit digerogoti oleh nilai-nilai lain yang sulit dipahaminya.

Dalam dirinya, ia mulai membenarkan terori literatur sosiologi yang pernah dibacanya. Semakin maju sebuah masyarakat, semakin maju pula pamrihnya. Masyarakat paguyuban (gemeinschaft)- yang lebih mengutamakan rasa persaudaraan dan nilai kegotongroyongan, akan berangsur-angsur berubah wataknya menjadi masyarakat patembayan (gesellscahft)-yang selalu berkiblat pada untung dan rugi.

Lagi-lagi isterinya menghampiri dari belakang sambil berkata lirih, “Udah kang, orang begitu saja kok dipikirin sampai ngambrah-ambrah.” (sampai jauh dan tidak karuan). Katanya sampeyan sudah punya sikap dan itu pernah ditularkan ke saya, biar orang lain begitu yang penting kita tidak begitu, ee la kok nggak diterapkan, tegas isterinya. “Itu kopinya sudah dingin, wis saya mau ngurusi Sukro,” katanya dan langsung hilang di balik kelambu.

Benak Hardiman tak juga dingin meski kopi yang di depannya jadi benar-benar dingin karena belum disentuhnya. Ampasnya mengendap dan mengental ke bawah. Diteguknya sedikit. Aromanya yang harum dan rasanya yang manis menyegarkan, tak seiring dengan kenyataan pahit yang dirasakannya.

Ketika subuh menjelang, Hardiman bangun, berlutut dan asyik masgul dalam kekusukan doa, seperti kebiasaan kesehariannya. Terdengar lamat-lamat suara dari telaga bening nuraninya. “Apapun yang terjadi, semangat persaudaraan harus dipertahankan demi kehidupan yang lebih baik dan berarti bagi peradaban masa depan!” Lebih baik miskin harta daripada miskin jiwa. Lebih baik miskin pamrih daripada miskin saudara.

Dari dalam kamar terdengar ocehan anaknya yang kini meniginjak umur 7 bulan. "Cacaca...tatata...papapa...mamama...berrr." Hati Hardiman sumringah dan bergegas menghampirinya. Sebuah nilai keindahan hidup--semangat persaudaraan, berhasil dikuasainya kembali dan sebisa mungkin ia terapkan di segala kesempatan. Untuk itulah, setiap kesempatan Hardiman selalu mengucap syukur kepada-Nya. "Orang boleh saja mengaku atau kelihatan beragama namun belum tentu mereka dapat mewujudkannya ke dalam religiositas kesehariannya," katanya menasehati diri.

Itulah hidup, kawan. Kau justru semakin lebih kaya dengan pengalaman (yang tidak mengenakkan) itu. Sebab dari situ kau dapat memilih untuk menjadi seperti mereka atau menjadi dirimu sendiri seturut dengan kehendakNya. Terdengar sang malaikat pamomong berkata lirih kepadanya. Hatinya kembali bersinar terang di pagi yang mendung.

Jumat, 03 Agustus 2007

Bekerjalah Lebih Baik

Bekerjalah lebih baik dari rekan-rekan Anda. Caranya, tingkatkan efisiensi dan produktivitas kerja Anda, serta tentukan skala prioritas dalam bekerja.

Dalam sebuah kantor atau perusahaan, ada saja karyawan yang belum memperoleh promosi jabatan meskipun sudah bekerja dengan tekun, patuh, dan jujur. Semuanya telah dikerjakan sesuai dengan standar kerja yang ditentukan.

Apa yang masih kurang?

Sebenarnya, karyawan macam ini lupa bahwa rekan-rekannya juga melakukan hal-hal serupa. Kalau Anda termasuk di antara mereka, cobalah kiat untuk berprestasi lebih baik berikut ini:

* Bekerjalah lebih baik dari rekan-rekan Anda. Caranya, tingkatkan efisiensi dan produktivitas kerja Anda, serta tentukan skala prioritas dalam bekerja.
* Perbesar daya kerja Anda dengan menghadapi pekerjaan dengan sikap mental positif dan perhatian penuh.
* Bekerjalah lebih kreatif.
* Lakukan penyesuaian diri dengan perubahan yang terjadi. Jangan terkejut bila sewaktu-waktu terjadi perubahan.
* Tingkatkan wawasan serta keterampilan dalam bekerja dan berpikir.
* Jangan mudah puas dengan hasil kerja yang telah dicapai.
* Lakukan evaluasi terhadap hasil kerja Anda dan berikan tantangan untuk menghadapi tugas lebih berat.

Kepuasan kerja akan diperoleh bila Anda mampu menyelesaikan tugas dengan mudah, benar, cepat, dan tepat. Kondisi ini meningkatkan semangat kerja, sehingga memperbesar daya kerja. Akhirnya, Anda akan lebih menguasai, efisien, produktif, dan terampil dalam bekerja. (Intisari)

UNIQUE SELLING POINT DENOK

“Ah kenapa pula kau pilih Denok?” Pertanyaan ini sudah puluhan kali masuk ke gendang telinga Bony Dumatubun, teman di SMA Yoseph, dulu. Padahal banyak cewek-cewek cakep yang antri dan begitu berharap gayung sambut Bony. Di pemandangan saya, Denok hanyalah gadis sederhana dan nggak ada apa-apanya. Nggak cerdas, cantik atau luwes. Tapi aneh, Bony justru begitu tergila-gila padanya. Ketika saya coba iseng mengonfirmasikan ini kepadanya ia hanya tersenyum simpul. Gile bener! Tak tebersit sedikitpun sebuah keraguan dari wajahnya yang bisa saya tangkap.

Saya merasakan, makin tak bisa bisa memahami jalan pikiran Bony. Betapa tidak. Ia laki-laki yang handsome, pintar, baik hati dan anak galgendhu.(sebutan orang kaya jaman doeloe di Solo) Sumpah! Untuk yang terakhir ini, kalau mau, ia dapat membeli dunia baik yang mati atau yang hidup. Tapi sepanjang pengamatan saya, Bony tetap yang saya kenal dulu. Sederhana dan low-profile dalam arti yang sebenar-benarnya bukan seperti akrobat para pejabat di khazanah kebudayaan kita.( gayanya sok low profile tapi tindakannya batil...ah kok ke luar alur sih?).

Tak tahulah, apakah ada korelasi yang positif dan signifikan antara sikap dan tindak seseorang dengan keputusan memilih seorang teman. Yang jelas, sampai kini, Denok masih menduduki peringkat atas di otak bawah sadar dan otak waras Bony. Ini terlihat dari cara Bony memperlakukan Denok. Di buku hariannya, halaman demi halaman selalu bertengger nama Denok tak habis-habisnya. Tulisannya lumayan sih cuman isinya kidung pujaan melulu.

Ngomong-omong lebih lanjut soal Denok, akhirnya saya dapat menemukan sesuatu yang muskil dan jarang ditemukan pada gadis-gadis lain sepantarnya. Untuk sekedar tahu, saya akhirnya melakukan investigasi secara in cognito yang memaksa saya membuang waktu selama tiga bulan. Ia nggak pelit. Ini tak sulit menjabarkannya. Ketika saya sempat beberapa kali hang out dengannya saya selalu ditraktir, meski dalam perjanjian sayalah yang seharusnya ke luar kocek. Itu pula perlakuan yang dirasakan oleh teman-temannya satu gank. Barangkali julukan yang tepat baginya adalah darmawati. Tapi bukan hanya itu, banyak atribut yang menempel pada dirinya. Baik hati, lembut dan romantis, berani mengatakan tidak, berwawasan luas, teman bicra yang enak, suka pecel dan politik, ekonomi dan sastra. Walah! Pokoknya sesuatu yang langka yang jarang ditemukan pada gadis-gadis kota besar seperti Jakarta.

Inilah barangkali USP yang menjadi daya pikat Denok bagi siapa saja sehingga bisa dipastikan setiap laki-laki yang mendekatnya akan jatuh tertunduk terkulai di pangkuannya. Diam-diam saya jadi ngiri pada Bony. “Pantas saja Boni begitu tergila-gila padanya”, gumam saya lirih menjelang tengah malam.

Sepekan kemudian saya telusuri hampir sebagian besar trotoar kota Jakarta. Tak puas sampai di situ, saya pun lantas mendatangi pusat-pusat keramaian, pertunjukan musik, seminar, dan tentu saja tak lupa ke gereja. Untuk apa? Ya barangkali saja saya bisa menemukan Denok yang lain. Pengin sekali rasanya saya menjodohkan Denok lain dengan Bony yang lain. AH!

SANG JENGLOT TELAH PERGI

Tak tahu dari mana rimbanya, manusia jenglot tiba-tiba saja sudah ada di rumah kami. Keluarga kami yang lain memandangnya dengan penuh takajub, karena selama ini mereka memang belum pernah melihatnya. "Wow seluruh badannya bertato, lho," jerit adik saya.

Dari hari ke hari, perbincangan kami selalu diwarnai dengan ulasan mengenai manusia jenglot ini. Hampir rata-rata anggota keluarga kami kurang menaruh respek padanya, hanya ada salah satu keluarga kami yang jadi tergila-gila padanya. Padahal ketika pertamakali tahu kehadirannya ia sangat tidak peduli dan terkesan memusuhi.

Minggu pertama setelah kedatangan manusia jenglot, baru saya tahu bahwa kedatangannya memang bukan atas inisiatif bapak dan ibu. Menurut sumber-sumber yang tak mau disebutkan namanya, ia sengaja didatangkan oleh pihak ke tiga, tepatnya keluarga jauh kami. “Anak-anak..,” suatu malam bapak yang didampingi ibu membuka pembicaraan di ruang makan. “Kamu tahu kan pakde Farid Kerpo yang paranormal di Pondok Gundah?” katanya di suatu malam.

Selanjutnya secara panjang lebar bapak menguraikan latar belakang, tujuan dan goal attainment-nya (hasil akhir yang akan dicapai). Menurut bapak, kekayaan keluarga kami perlu dilindungi. Ini semua dilakukan agar kelak kami anak-anaknya dapat mewarisinya. Bapak meyakinkan bahwa dengan memelihara jenglot, usahanya jadi lancar dan kekayaannya akan bertambah ruah. “Kata pakdemu, jenglot itu sangat pintar nyari duit, lhe,” katanya kepada saya, saat berdua di beranda depan, suatu petang. Saya hanya diam seribu bahasa, tak menanggapi ocehan bapak. Sementara di kepala saya sebenarnya telah tersedia banyak counter-attack yang bisa langsung menohok statemen bapak.

Bagaimana mungkin manusia jenglot bisa menjaga kekayaan, wong dirinya sendiri kini lagi nyari kekayaan dan masih doyan makan nasi-bukan kembang menyan? Bagaimana mungkin ia pinter nyari duit, wong pengalaman dan kepintaranya juga masih di garis rata-rata? Bapak rupanya lupa bahwa lima orang anak-anaknya adalah lulusan perguruan tinggi dengan jam terbang kerja yang juga tinggi. Tapi susah memang mengubah mind state bapak yang sudah kadung haqulyakin.

Sekedar berkompromi dengan kemauan bapak, akhirnya kami menurutinya. Ceritanya kami, dalam segala hal harus tunduk pada kemauan manusia yang didatangkan bapak itu. Sebulan dua bulan belum kelihatan, kami pun masih sabar menunggu. Waktu hampir berjalan satu tahun, kekayaan bapak tergerogoti namun tak menjadikan kesadarannya terusik. Kami semua hanya bisa mengelus dada dan prihatin menghadapi situasi ini. Secara pribadi saya menemukan, bahwa jenglot ini makin lama makin besar kepalanya. Ini karena bapak terus saja memperlakukannya dengan baik. Sering saya pergoki, bapak berdua dengannya minum kopi sambil mengintip gadis-gadis kampung yang sedang mandi di kali. Pernah pula tetangga kami beberapa kali menemukan mereka sedang bersenang-senang di diskotik, panti pijat dan arena lokalisasi kota karesidenan yang letaknya 30 km dari kampung kami.

Kami anak-anaknya tak bisa mengubah tabiat bapak untuk tidak melakukan maksiat, karena konon itu menurun dari kakek bapak. Untung kami berlima tidak otomatis terjangkiti tabiat yang memuakkan itu. Secara genetis biologis kami memang anaknya tetapi secara skeptis ideologis kami tak lain adalah musuhnya.

Setelah berjalan dua tahun, segenap anggota dewan kehormatan yang terdiri dari anak-anak, tetua, dan para profesional yang disewa bapak, mengadakan evaluasi. Diperoleh kesimpulan bahwa sejak bapak memelihara jenglot, harta kekayaan bapak berkurang lebih dari 400 milyar. Mengetahui hal itu, bapak tampak sok, hatinya hancur, segala rencana ke depan di bidang investasi jadi kandas. Yang tak kalah ketiban apes adalah kami. Dua tahun tak menerima bonus.

Kami hanya saling pandang ketika tanpa tahu dari mana masuknya, si jenglot itu sudah berada di tengah-tengah kami. Hampir saja kami membantainya bareng-bareng dan membuangnya ke laut namun dari arah belakang terdengar suara bapak, “Namanya juga manusia, nggak ada sempurnanya,” katanya, coba mendinginkan suasana panas dari bara api di kepala kami. “Sudah tahu bikin ancur, kenapa pula bapak masih memeliharanya, sih?” sergap adik saya, sedikit kasar.

Bapak tampak diam dan dalam hati sebenarnya tersembul rasa kasihan tapi tak kami perlihatkan. “Dulu sebelum bapak memelihara jenglot, usaha kita lancar. Kami semua lebih kompak, suasana persaudaraan kami sangat menyenangkan dan adem ayem. Kenapa bapak lebih percaya jenglot daripada anak sendiri untuk memimpin armada rumah tangga ini?” hardik adik yang lain, tak kalah sengitnya.

Lagi-lagi bapak tampak terpojok di sudut ruangan tempat kami berkumpul. Mendengar percakapan yang panas ini si jenglot kemudian urung ke belakang. Kami kemudian dikejutkan oleh suara tangis sesenggukan seseorang. Kami mengira itu tangis ibu tapi setelah mendekat barulah kami tahu bahwa si jenglot tengah berjalan sambil membawa surat pengunduran diri dan lalu menyerahkannya kepada bapak di hadapan kami. “Iya, kamu memang pantas mengundurkan diri karena sejak kamu di sini kami terus merugi,” kata bapak, tak semanis seperti dulu lagi.

Pagi hari-bulan ke dua puluh enam, bapak dan ibu memanggil kami ke ruangan tengah. “Maafkan bapak, anak-anakku, selama ini bapak salah pilih,” katanya, datar sekali.”Ini semua gara-gara bujukan pakdemu Farid Kerpo itu,” katanya memberi alasan. Bapak tidak benci dan tidak akan memperkarakan si jenglot meski bapak tahu, hartanya telah berkurang drastis dan banyak aset-aset yang diselewengkan selama ia di rumah kami. Sebelum rapat keluarga ini bubar ibu dengan tulus mewanti-wanti agar kami selalu baldatun thoyyibatun wa robbun gofur. (berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya,-red.)

Baru tiga langkah kaki saya beranjak dari ruangan, ibu tiba-tiba menggamit tangan saya sambil membisikkan sesuatu yang menyejukkan hati. “Sakabehing dumadi yen wis tumekaning wates kodrate mesti bakal mulih marang mula-mulanira lan sirna." (Kalau sudah sampai waktunya, segala sesuatu di dunia ini akan kembali ke asalnya dan sirna). "Saya tahu pasti bu, jenglot juga manusia dan ia akan kembali ke asalnya, sirna ditelan bumi!", kata saya, tak kalah filosofis.