Rabu, 29 Februari 2012

Partners in Crime dan Branding Angie


‘If all my friends were to jump off a bridge, I wouldn’t jump with them, I’d be at the bottom to catch them.’





Siapapun yang mendengar quote di atas, pasti kagum. Betapa besar pengorbanan seorang sahabat sejati. Tali temali pertemanan yang begitu kuatnya sehingga seseorang mau melakukan apa saja demi untuk menyelamatkan temannya.



Pertemanan tersebut sudah masuk pada tingkat yang disebut dengan soulmates. Jelas bukan hanya pertemanan biasa.


Dalam buku saya yang terbaru yaitu ‘BRANDMATE: Mengubah Just Friends menjadi Soulmates’, dijelaskan sedikitnya tiga tingkatan pertemanan. Dari tingkat awal yang hanya sekedar just friends, lalu menjadi good friends hingga mencapai tingkat soulmates.

BRANDMATE menjelaskan proses branding dengan analogi pertemanan. Keterikatan seorang konsumen terhadap brand tertentu juga melalui proses yang sama. Tingkat loyalitas atau keterikatan emosional brand tercapai bila secara serius dibangun dan dikembangkan.

Dalam branding organisasi atau partai, setiap anggota organisasi juga mempunyai proses konversi ‘pertemanan’. Dari anggota biasa, lalu anggota yang semakin dekat secara emosional dengan organisasi, hingga yang loyal dan mencintai organisasinya secara utuh.

Tentu proses konversi tingkat kedekatan emosional ini sifatnya mutual. Tidak mungkin seorang anggota partai menjadi loyal bila dalam kesehariannya, organisasi tidak memperhatikan kebutuhan dan memahami para anggotanya. Loyalitas tercipta sebagai bentuk rasa saling memiliki.

Pertemanan ini yang saya lihat sudah luntur dalam kasus Angelina Sondakh. Tidak ada satupun dari temannya dari partai yang ada di dasar jembatan untuk menangkapnya.
Dia dibiarkan terjun dari jembatan sendirian.

Dalam peribahasa lama dikatakan ‘A friend in need is a friend indeed’. Teman sejati adalah teman di saat kita susah dan membutuhkannya, bukan hanya saat senang saja.

Ini terlepas dari masalah bohong atau tidaknya Angie, dan terlepas dari apakah benar Angie terlibat dalam mafia korupsi di organisasinya.

Saya ingin membahas dari sisi pertemanannya dulu. Kasihan juga Angie. Dia sendirian. Ditinggalkan ‘teman-teman’nya.

Angie, mana teman-temanmu yang hadir dalam pesta ulang tahun Keanu di hotel Sultan yang mewah itu? Tentu banyak yang menikmati pesta, dan jika mereka memang benar temanmu, kemana mereka sekarang?

Media memberitakan, tidak ada satupun temanmu dari Partai yang hadir di acara satu tahun meninggalnya suamimu, Ajie. Ini sangat kontras dengan saat penguburannya, para ‘teman partai’ hadir dan membantu meringankan kesedihan.

Partners in Crime

Kasus Angie mengingatkan saya pada pertanyaan salah satu peserta talkshow buku BRANDMATE minggu lalu. “Apakah Menurut Ibu, ‘Partners in Crime’ itu juga Soulmate?
Sebab, setau saya, ikatan yang terjalin dalam ‘mafioso’ justru lebih kuat
dibandingkan pertemanan biasa.”

Ini tentu bukan pertanyaan yang sederhana. Saya perlu berpikir keras agar bisa menjawabnya. Benarkah Loyalitas dalam ‘Partners in Crime’ ini sama seperti kekuatan soulmate yang saya jelaskan dalam BRANDMATE?

“Partners in Crime’ sendiri sebenarnya mempunyai makna ganda. Dalam bahasa anak-anak gaul, arti ‘Partners in Crime’ lebih diarahkan pada teman saat susah – saat benar-benar susah. Misalnya pada saat bersama mengerjakan tugas di kelas yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Atau partner saat susah payah cari dana dalam rangka penyelenggaraan kegiatan sekolah.

‘Partners in Crime’ dalam arti aslinya adalah pertemanan dalam mengerjakan kejahatan atau hal-hal negatif yang membahayakan atau merugikan orang lain.

Tampaknya soulmates dalam konteks kejahatan ini tidak bisa disamakan dengan soulmates analogi branding. Dalam branding, definisi brand yang kuat adalah yang diasosiasikan
dengan hal-hal yang positif.

Pertemanan yang dibangun dalam branding selalu mengarah kepada hal-hal yang punya nilai tambah. Loyalitas yang dibangun pun, walaupun mengarah pada tingkat emosional yang mendalam, tetap dalam koridor bahwa manfaat pertemanan ini masih sehat dan positif.

Dalam kehidupan kaum Yakuza yaitu para mafia Jepang, dikenal loyalitas total dan ini tanpa batas. Siapapun yang masuk dalam komunitas ini akan larut dalam kulturnya dan tidak bisa ditembus dari luar untuk memecahbelah ikatan satu member dengan lainnya. Soulmates dalam konotasi Yakuza sudah mengesampingkan nilai-nilai individu, karena nilai golongan yang lebih diutamakan.

Dalam konteks Angie dan partners in crime – yang bisa saya garisbawahi adalah kenyataan bahwa Angie tidak punya teman lagi.

Terserah mau didefinisikan dari sisi partners in crime yang bermakna negatif (kejahatan korupsi), atau mau didefinisikan dari sisi partners in crime yang berarti teman jaman susah (dari Partai Demokrat masih merangkak, Angie merupakan salah satu dari kelompok kecil orang penting partai). Tetap saja, partners in crime Angie hilang sudah.

Bersalahkah Angie? Tentu itu bukan tugas saya untuk mengadili. Pengadilan hukum yang akan menentukan. Setidaknya, dalam pengadilan media dan publik, Angie sudah dinyatakan bersalah. Brand imagenya turun drastis, brand valuenya merosot.

Yang terjadi saat ini adalah proses konversi yang sangat cepat dari para soulmates turun menjadi just friends, bahkan sebagian bahkan pindah berseberangan. Pekerjaan Rumah yang sangat kompleks untuk pembangunan kembali brand image seorang Angelina Sondakh.

Berapa jumlah soulmates yang masih tersisa, Angie?

‘A friend is someone who will catch you when you fall, dry your tears and tell you it will be all right, never leave you by yourself……..’

* (by AMALIA E. MAULANA on FEBRUARY 29, 2012)