Selasa, 16 Agustus 2011

Tidak ada alasan menolak biaya program K3

Rasanya, waktu berjalan begitu cepat ketika kami harus berbicara dengan Erman Suparno, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Indonesia Bersatu I ini. Banyak gagasan yang belum tuntas disampaikan namun sering “terganggu” oleh sang sekretaris dan orang-orang kepercayaannya yang menginterupsi meminta tanda tangan, mengingatkan jadwal rapat atau sekedar minta komfirmasi tentang sesuatu hal. Di markas tempat ia memimpin PT Trubajurong Engineering di bilangan Jakarta Selatan itu, bara semangat Erman Suparno tetap menyala ketika majalah KATIGA mengajaknya berbincang tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Perhatian dan kegandrungannya terhadap masalah ketenagakerjaan di Indonesia, utamanya K3 bagai tak lekang oleh waktu meski jabatan resmi sebagai menteri yang membidangi masalah tersebut telah berakhir, 22 Oktober 2009 lalu.

Mencermati masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) ia coba mempertanyakan keberadaannya.“ Apakah K3 tetap mau tergantung pada pemerintah atau independen?”, tanya Erman. Kalau independen itu harus ada kerjasama di ranah tripartit nasional karena menyangkut tiga pihak. Dan itu pernah saya bentuk, tambahnya.

Dari sisi pandang pengusaha Erman berempati bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang menghendaki terjadinya kecelakaan di lingkungan kerja. “ Mereka menghendaki karyawannya selamat dan sehat. Dengan demikian produktivitasnya terpelihara, bahkan lebih meningkat dan tidak ada biaya ekstra yang harus dikeluarkan untuk pengobatan atau kematian dan sebagainya,“ tuturnya. Sementara dari sisi pandang karyawan, menurutnya sangat filosofis bahwa mereka bekerja mencari naskah untuk dirinya/keluarganya dengan selalu sehat dan selamat sekaligus bisa meningkatkan karirnya. Dan dari sisi pemerintah, katanya, itu menunjukkan the real political will bahwa pemerintah melindungi warganya, baik masyarakat pengusaha maupun pekerja.

Yang penting dari itu semua, secara makro atau strategi public policy bahwa K3 itu adalah sebuah kebijakan yang memberikan nilai tambah yang hakiki yaitu membangun harmonisasi hubungan industrial. “Kalau perusahaan tidak peduli dengan K3 itu khan pekerja juga merasa tidak diperhatikan,” sentilnya.

Dalam melihat kondisi objektif K3 di Indonesia, Erman Suparno, dari dulu, saat menjadi pejabat negara hingga kini sebagai pelaku K3 tetap konsisten mengatakan bahwa landasan berpijak K3 itu bersumber pada UUD 1945. “ Pada dasarnya kepedulian terhadap K3 itu harus menjadi sebuah gerakan yang mengarah kepada pembudayaan K3. Jadi gerakan membudayakan K3 menjadi kewajiban, “ tegasnya. Itu secara konstitusional sesuai UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yaitu tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tegasnya, lagi.

Mengurai lebih jauh hal tersebut, ia mengatakan pasal itu mengandung makna bekerja yang sehat dan selamat. “ Oleh karena itu menjadi kewajiban kita bersama untuk membudayakannya. Di negara-negara maju K3 itu sudah membudaya, enggak usah diperintahkan semua melekat di dalam hati masing-masing. Pengusaha, pekerja, dan pemerintah, “ katanya. Makanya yang itu, Erman menunjuk judul poster kecil di sudut kanan atas meja kerjanya dengan endorser “trio bintang pejabat negara” pada masanya yakni Yusuf Kalla, dirinya, dan Muhaimin Iskandar yang berbunyi ‘Kita budayakan K3 untuk meningkatkan mutu dan produktivitas kerja’. “Semboyan itu saya ciptakan sejak saya jadi menteri,” akunya.

Coba kembali membuka catatan lama, persisnya kala menjabat menteri, ayah 4 anak kelahiran Purworejo, 20 Maret 1950 ini memang ke mana-mana gencar melakukan gerakan K3. Tindakan kongkret di lapangan seperti apa? “Setiap perusahaan di dalam penandatangan SKB itu wajib hukumnya mempunyai klinik pekerja. Ada satgas K3 yaitu tim khusus untuk mengurusi K3 (dari pekerja untuk pekerja),” kenangnya. Selain itu, Erman juga memberlakukan reward and punishment dan secara implementasi setiap tahun ia mengumumkan perihal penurunan kecelakaan kerja nasional di koran-koran. Dirinya berani memastikan jika K3 sudah membudaya, kecelakaan nihil (zero accident) bakal tercapai.

Itulah kunci membangun harmonisasi hubungan industrial versi Erman Suparno yang diyakini akan membawa dampak ekonomi, sosial budaya dan politik. “ Waktu jadi menteri, setiap saya membuat program pendekatannya selalu sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik. Kalau tidak komprehensif begitu akhirnya jadi wacana doang, “ ujarnya. Tak urung naluri kekritisannya pun akhirnya menghunjam pemerintahan. Ia menganalisis bahwa antara biaya yang dikeluarkan per 5 tahun dan hasilnya (pemilu-Red.) menurutnya tidak optimal. “Maka saya bisa menyebutkan bahwa yang terjadi adalah wasting time and wasting cost, “ tegas Erman. Bukan salahnya sistem pemilu tetapi tidak optimalnya hasil pemilu pemerintahan, jelasnya.

Masih berbicara dalam topik yang sama, ia mendefinisikan pemilu sebagai sarana untuk membuat keputusan, memberikan amanah/mandat kekuasaan kepada pemerintahan. Legislatif, eksekutif, dan yudikatif. “Pemilu adalah sarananya, demokrasi adalah caranya, dan peningkatan kesejahteraan rakyat tujuannya. “ katanya berapi-api. Ia pun mensinyalir terjadinya salah kaprah bahwa pemilu sekedar untuk ajang cari job, bagaimana bisa menjadi anggota dewan, menteri dan sebagainya. “ Kalau istilahnya orang NU itu sudah lepas dari khitahnya…hahaha,” derai tawanya pun tak terbendung. Akhirnya tidak optimal, sambungnya. Makanya, akhirnya pengangguran dan kemiskinan bukan menjadi target hasil, tapi hanya dipakai untuk wacana reforia politik, untuk alat jualan semata.

Balik ke pokok pembicaraan semula tentang K3, politikus PKB yang membidani lahirnya Yayasan Samiaji dan Ketoprak Humor di tengah himpitan krisis berat 1997 ini menegaskan kembali bahwa dalam membangun K3 pendekatannya selalu bertumpu pada tiga azas tadi. Secara sosio budaya, katanya, masyarakat pekerja, pengusaha dan pemerintah pasti menghendaki supaya bekerja itu selamat dan sehat. “Oleh karena itu K3 harus dibudayakan. Komitmen itu tidak perlu dikejar-kejar, ada kesadaran untuk membudayakan K3,” ujarnya. Secara spiritual dalam bekerja doanya khan selamat, tambahnya.

Secara ekonomi, ketika lingkungan kerja sehat karyawan pun sehat, dan itu akan meningkatkan produktivitas, kualitas, efisiensi dan daya saing. Nah setelah ini tercapai ia akan memberi kontribusi berupa pajak dan sebagainya. Kalau semuanya tercapai maka secara sosio politik itu the real action political will dari pemerintahan. Melindungi masyarakat pengusaha dan pekerja. Maka kalau pemerintah melalui departeman yang diamanatkan tidak “nggubris” atau peduli K3 itu namanya tidak melaksanakan amanat. Wong itu di UUD 1945 jelas, tunjuknya.

UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Negara bertanggung jawab memberikan ruang dan kesempatan warganya untuk bekerja itu mengandung makna bekerja itu harus selamat, sehat, dan sejahtera. Implementasi K3 itu harus ada perencanaan, pengawasan, evaluasi. Ini menjadi feed back. Plan-Do-Check-Action, Plan-Do-Check-Action itulah manajemen sistem K3. Ketika saya menggerakkan, action-nya baru 30 persenlah, mestinya harus dilanjutkan, katanya, sunguh-sungguh.

Mengapa program yang dirintisnya itu tak juga dilanjutkan, menurutnya, karena kurangnya kepedulian dari pihak pemerintahan, baik yudikatif, eksekutif, dan legilsatif. Kalau ada kepedulian dan konstitusionalnya dipahami, itu wajib hukumnya. “ Jadi politik anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat itu tidak alasan untuk menolak biaya program K3,” tegas Erman. Itu dari pemerintahan, sedangkan dari pihak pengusaha mustinya ada program Corporate Social Responsibility (CSR).

Tujuan pemerintah adalah membangun pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dan itu harus diterjemahkan oleh siapa pun yang menjadi menteri ekonomi. Oleh karena itu akan menjadi percuma kalau pertumbuhan ekonomi tinggi tapi tidak berkualitas. Nah makna pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertama, terjadi pemerataan dan keadilan pertumbuhan. Jadi yang tumbuh jangan hanya kelompok-kelompok tertentu. Kedua, harus memberikan indeks kesejahteraan masyarakat, pengusaha, pekerja, dan masyarakat umum. Kesejahteraan berupa apa? Kesejahteraan berupa pendapatan, yang seimbang bisa memenuhi kelayakan, ke dua sehat yang terakhir selamat.

Jadi makna kesejahteraan itu, lanjutnya, bukan hanya semata-mata gajinya besar. Gajinya besar tapi bolak-balik ke rumah sakit karena lingkungan kerjanya nggak sehat. K3 itu komponennya khan macam-macam. Ada pencegahan dan lain-lain. Kala itu, waktu departemen yang dipimpinnya hendak membeli mobil saja, berapa pencegahan kesehatan kerjanya. Setiap provinsi saya kasih mobil K3. Itu untuk mengecek ke pabrik-pabrik. Dampak lingkungan, cek fisik ada penyakit apa tidak. “Ha itu harus ada gerakan nasional K3, “ jelasnya. Makanya K3 boro-boro menjadi budaya nanti bisa pudar lagi. Itu harus ada pemahaman betul oleh sang penguasa yang diberi kuasa untuk kebijakan itu. Menurut saya, kalu program menteri sebelumnya baik, menteri berikutnya ya harus meneruskan, ajaknya.

Sebuah media masa menulis ihwal program yang pernah Erman canangkan. Ini berangkat dari sebuah problematik yang ada di pulau jawa yaitu menumpuknya kemiskinan, dan adanya penyakit sosial. Lantas kalau terjadi, misalnya, pelacuran anak di bawah umur atau gadis remaja karena faktor ekonomi, apa solusinya? “Nah siapa pun yang berkuasa, yang jadi manajer negara dalam hal ini presiden, harus punya konsep yang holistik komprehensif itu. Selama tidak punya, ya itu hanya menghabiskan dana saja. “ katanya.

Sama ketika saya memimpin departemen, ungkapnya, saya khan “dasdes-dasdes” (tegas dan cekatan-Red.), istilahnya anak-anak itu konsepnya begitu programnya begini, larinya 100 kita kalang kabut. K3 itu dulu khan ada gerakan massif. Bukan hanya pas peringatan K3 . Setiap saya kunjungan daerah ke pabrik, itu langsung saya genjot K3-nya, terus kemudian gerakan inspeksi mendadak. Seperti gedung di Jakarta, tempat terjadinya kecelakaan sopir yang jatuh, itu khan saya langsung sidak. Waktu itu saya ditentang, menakertrans kok ngurusi gedung. Sopir yang meninggal itu khan tenaga kerja, belanya. “Bahkan ada beberapa gedung yang saya tutup, termasuk gedung jamsostek…hahaha, “ tawanya lepas.

Sejauh pengamatannya, sampai saat ini pelaksanaan K3 di Indonesia masih menghadapi kendala. Baik dari pemerintah, pengusaha maupun para pekerja sendiri. Erman menyebut tiga hal, yaitu kurangnya konsistensi dan political will dari pemerintahan (legislatif pemegang politik anggaran) dengan porsi yang proporsional terhadap gerakan K3, kurangnya perhatian pemerintah dalam mengusulkan secara konstitusional dan professional ke dewan tentang anggaran program, dan masyarakat pelaku K3 (pengusaha dan pekerja) belum memprioritaskan safety first. Jadi safety first itu belum dibudayakan dan membudaya di lingkungan pekerja, ungkapnya.

Yang tak kalah penting, menurutnya, adalah law enforcement yang lebih tegas dari pemerintah. Terus terang ia kurang setuju dengan pengenaan sanksi yang ringan manakala terjadi suatu kecelakaan. Menyikapi kenyataan tersebut, dulu ia pernah mengusulkan perubahan undang-undang namun hingga sekarang ini, belum berhasil. “Kalau kesadaran K3 itu betul-betul telah merasuk dan menjadi kesadaran utama di setiap masyarakat pengusaha dan pekerja maka secara otomatis corporate culture akan terbentuk,” katanya, yakin.

Bagaimana menstimulasinya, juga adakah yang bisa dilakukan, misalnya, di sektor pendidikan, agar K3 di Indonesia lebih baik? Tidak harus menunggu pemerintah. Namun menurutnya, harus dibantu dengan lembaga SMK3. Yang menjadi persoalan adalah masalah biaya. “Kalau biaya sendiri ya berat, makanya harus ada subsidi, “ katanya. Sementara di sektor pendidikan, setiap penyelenggara sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi harus sadar betul bahwa output-nya adalah angkatan kerja. Oleh karena itu mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan sosialisasi atau lebih baik lagi memasukkannya dalam kurikulum selama satu semester untuk pengenalan ketenagakerjaan, karena K3 merupakan bagian dari strategi manajemen ketenagakerjaan itu sendiri. Tidak heran, waktu itu, muncul idenya untuk mengadakan Kios 3 in 1, semacam lembaga pelatihan yang memadukan sertifikasi dan penempatan tenaga kerja dalam layanan satu atap.

DR. Ir. Erman Suparno, MBA, Msi, hari-harinya terus diabdikan bagi kemajuan perusahaan, organisasi sosial kemasyarakatan hingga kepentingan bangsa. Maka jangan heran jika suatu ketika Anda menemukan dia di perkumpulan pedagang bakmi dan baso, perkumpulan penggemar keris, ketoprak humor, hingga seminar nasional atau internasional. Satu, yang tak boleh dipandang sebelah mata adalah konsep Erman dalam manajemen membangun negara bangsa.“ Hanya ada 2 variable utama, yaitu pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang kita miliki, “ tegasnya. Membangun SDM itu ada 3 sistem yang tidak boleh dipisah dan dikurangi, yaitu sistem kependudukan yang substansinya mengendalikan jumlah dan kualitas penduduk. Sistem kependidikan, kurikulum harus link and match dengan pengelolaan SDA yang kita miliki. Sistem ketenagakerjaan, angkatan kerja harus diarahkan ke budaya menciptakan pekerjaan bukan mencari pekerjaan. “ Human development dengan sistem itu yang saya sebut holistik komprehensif. The goal-nya adalah SDM yang cerdas, bangsa Indonesia yang cerdas.“ Itulah makna dari mukadimah UUD 1945 yaitu tujuan bernegara itu salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, ujarnya mantap.

Foto dari galeri tokoh. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah KATIGA, ditulis oleh penulis yang sama.

Tidak ada komentar: