Senin, 31 Oktober 2011

Tidak Ada Yang Mengaku Pengawasnya Cukup

Bukan orang baru di Kemenakertrans, ia memulai kiprahnya di sini, sejak 1982. Keyakinan akan samubarang yen wis titi wancine, Gusti Allah bakal marengake (segala sesuatu jika telah sampai pada waktunya, Tuhan akan memberi jalan), menjadi pegangan hidup laki-laki kelahiran Magelang, 13 Desember 1959. Untuk kesekian kalinya, itu terbukti dan menjadi kenyataan hidup pehobi olah raga yang mengaku menjalani hidup opo anane wae (apa adanya saja) ini.

Muji Handaya, yang mengawali kariernya sebagai staf Direktorat BPNPTK dengan pangkat pengatur muda-kala itu, kini telah berdiri paling depan sebagai orang nomor satu di Direktorat Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kemenakertrans. Belum lama ini, KATIGA berkesempatan menyambangi dan berbincang-bincang dengannya, di sela-sela pelantikan jabatan barunya, di kantor Kemenakertrans, Jakarta.

Sebelum menguraikan pandangannya tentang K3 ke depan, Muji Handaya menjelaskan, semua pekerjaan yang dilakukan di direktorat yang dikomandoinya merupakan sebuah sistem. “Oleh karena itu, program Direktorat Jendral Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan (PPK) ini juga perlindungan pengembangan sistem pengawasan,” katanya. Jadi fokus utama aktivitas dirjen itu, sambungnya, perlindungan yang pelaksanaannya dilakukan melalui sistem pengawasan.

Bagaimana perlindungan itu dilaksanakan? Menurutnya, saat ini semua unsur material perlindungan sudah ada pada aturan ketenagakerjaan, norma ketenagakerjaan, dan peraturan perundang-undanganan (perpu). Semua itu dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kondisi kerja yang menyangkut penempatan, pengupahan, waktu kerja, hungungan kerja, perikatan hububungan kerja, dan pemberian jaminan kecelakaan. Di negara-negara maju, ujar Muji, hal tersebut sudah tidak menjadi persoalan.

Ke dua, lingkungan kerja, yang juga merupakan bagian dari perlindungan. Itu termuat di dalam standar-standar, dan perpu. “ Saya memaknai di Indonesia itu masalah-masalah dasar ini belum selesai. Yang menyangkut kondisi kerja tadi belum selesai. Nah ini perlu suatu percepatan-percepatan,” tegasnya. Ini semua harus dijaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Karena peraturan perundang-undangan itu intinya adalah perlindungan, tandas Muji. Akhirnya muara kebutuhan dari perlindungan yang lebih tinggi adalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Orang inginnya pasti kerja itu selamat, orang bekerjanya itu sehat, dengan pengupahan yang baik, jaminan kerja yang baik, tanpa adanya pelanggaran, tidak ada diskriminasi, tidak ada bencana.

Mengkilas-balik perihal K3 ia membeberkan, awalnya Indonesia juga mengalami fase seperti negara-negara lain. “ Usaha-usaha di bidang K3 itu mempunyai sifat legalistik, dan monopolistik. Legalistik itu harus sesuai dengan peraturan, dan standar. Sedangkan pengertian monopolistik, K3 harus dipegang oleh orang-orang yang sudah mampu di bidangnya, dilatih, dan punya pengalaman, “ katanya. Ia memberi ilustrasi. Ketel uap produksi Jerman rusak kursi pipa uapnya, adanya di Jerman, harus diganti dari Jerman. Mahal khan? Itu dianggapnya cost, padahal ini khan investasi. Di negara maju K3 itu sudah investasi karena pasti ada return. Return yang berdampak pada kesejahteraan tenaga kerja, sehat selamat, dan terlindungi, return kontinuitas dari proses produksi jalan. Di Indonesia ada problem kultural yang harus dipecahkan. “ Makanya cukup tepat kalo kita di tahun 2015 itu mencita-citakan budaya K3. Indonesia yang mana? Ya, masyarakat industri dulu,” terangnya.

Kalaupun tidak tercapai, ya nggak apa-apa, sambungnya. Akan terus dikejar, itu merupakan suatu motivasi. Ini merupakan kerja keras yang harus terumuskan, dapat dipertanggungjawabkan secara program kepemerintahan, keilmuan, dan etik atau moral. Karena K3 juga merupakan progress, science, tapi juga suatu etik. Jika pencapaian sudah tinggi, safety and health itu adalah personal business, menjadi tanggung jawab moral dari setiap orang, bukan perusahaan. “ Kita akan mengubah suatu kultur, moral. Karena itu yang paling tepat adalah melalui pendidikan,” tegasnya.

Membandingkan dengan negara Eropa yang masyarakatnya sudah cukup mempunyai kesadaran akan keselamatan, ia menunjukkan, “Lihat perilaku manusianya. Lebih sosial, santun, hati-hati masyarakat sana dibanding orang kita. Mengapa? Kita belum mempunyai pemahaman, penghayatan, sehingga belum muncul suatu morality, “ katanya, menggebu. Jadi konstruksi ke dalam kesisteman di dirjen ini harus dicapai karena itu sebagai highest goal setiap orang. Ketika pengaturan waktu kerjanya tidak baik, 12 jam kerja per hari, misalnya, pasti orang lelah, lalai. Near accident. Upah rendah, orang cenderung bekerja lebih lama untuk dapat lembur. Near Accident.

Muji menyatakan tepat jika direktoratnya mencanangkannya bergerak di bidang perlindungan. “ Itu satu sisi untuk human. Untuk capital yang lain, asset. Kalau cara kerjanya safe, otomatis masalah ledakan, kebakaran, slading bisa dihindari. Artinya kerugian harta benda sebagai asset perusahaan bisa dihindari. Itu aspek lain dari tujuan perlindungan,“ paparnya. Direktorat yang ia pimpin, tambahnya, harus mengatasi problema-problema yang ada, merumuskan solusinya, dan semua asset yang dimiliki. Jadi money follow function.

Sebagai “panglima” di Direktorat PPK, kini dirinya telah menetapkan langkah menuju budaya K3 2015. Pertama, mengembangkan safety officer. Menurutnya, semuanya banyak bergantung pada peran yang satu ini. “Di Indonesia, model pengawasannya partisipatori. Lembaga lain bisa melakukannya meskipun secara officially tidak mempunyai hak pro justicia, dan dalam lingkup yang lebih kecil, “ tegas Muji. Ke dua, mengembangkan ahli K3 baik umum maupun spesialis. Untuk ini, perlu suatu lembaga yang mampu mencetak itu. LPJK3 diperbanyak agar dapat mencetak para safety officer. “ Ini adalah garda depan dalam pencapaian budaya K3,” tandasnya.

Ke tiga, memulai dengan standard setting, antara lain menyusun kebijakan, peraturan dan segala macamnya. “Kemenakertrans telah mengeluarkan Permen No. 272, itulah wujudnya. Itu, standard setting, “ tunjuknya. Kita ingin semua perusahaan menerapkan standar, memasukkan K3 ke dalam manajemen (SMK3). Ada punishment and reward, katanya, sungguh-sungguh. Ke empat, bekerjasama dengan perguruan tinggi, seperti mendirikan piteknik K3, dan national campaign. “Kita kembangkan lembaga-lembaga konsultan. Dulu, hanya Sucofindo dan sekarang sudah ada 5 lembaga konsultan,”paparnya.

Ke lima, membentuk perpu, legal formalnya. “Kita kembangkan yang permen masuk ke perpu. Kita masih banyak masalah. UU Uap masih permen. Kita tidak bisa mendiamkan upah rendah yang mendorong orang bekerja lama dan ini unsafe. Juga pemakaian tenaga kerja dalam waktu lama.” tandasnya. Ia memandang perlu untuk menaikkan status permen menjadi perpu, sebab sanksi pada undang-undang yang ada dinilainya tidak memberikan efek jera, dan kurang memiliki daya ikat. “Saya akan senang sekali jika K3 itu lebih maju ketika punishment-nya dapat memberikan efek jera,” katanya.

Kini, jajarannya pun tengah menjajagi kerjasama ke berbagai elemen, khususnya Kementerian Hukum dan Ham. Harapannya, jelas, kelak bisa segera membentuk perpu yang saat ini masih permen-permen yang rendah daya ikatnya dan tidak bisa memberikan sanksi. “ Kalau perpu khan bisa! Itu legal formal. Itu standard setting,” tegasnya.

Trik khusus untuk meningkatkan efektivitas pengawasan? “Tidak ada di dunia ini yang mengaku pengawasnya cukup. Untuk membuat pengawasan lebih efektif harus mengembangkan sistem pengawasan menjadi efektif dan modern, “ katanya, yakin. Modern dalam artian dengan mengembangkan peran-peran pihak. Selama 2 tahun terakhir ini dirinya sudah aktif melakukan pembicaraan-pembicaraan dengan kantor Jenewa. Kini sebanyak 150 orang tenaga pengawas telah menjalani 3 kali latihan. “Kita ingin menumbuhkan kader agar mereka mempunyai ketahanan mental, pandangan visi yang baik terhadap tugas-tugas,” katanya, bersemangat.

Untuk mengembangkan peran-peran tersebut, direktoratnya akan melakukan high level tripartite, meeting on levering inspection yang dihadiri oleh perwakilan Jenewa, bulan Oktober. Di situlah, kesepakatan-kesepakatan tripartit nasional akan dicapai. Tak lama lagi, pihaknya akan melakukan workshop di Hotel Sheraton Mustika Yogya. “Kita datangkan ILO regional dari Bangkok, pembicara EIU, dan Asia. Dari sekitar 60 negara yang akan berpartisipasi dan itu juga suatu sisi nama baik Indonesia,” jelasnya. Bulan November, ia dan timnya akan berangkat ke World Congres di Turki. Indonesia akan memulai corner speech mengenai best practice, dan bagaimana Indonesia menjalankan OS-nya. Pihaknya juga akan mengembangkan jaringan informasi pengawasan sesuai perintah Kepres No. 21/2010.

Saat ini, ia tengah mengirimkan tim guna mempelajari sistem IT Singapura terkait dengan pelaksanaan norma K3, khususnya masalah kecelakaan. Karena di sana fokusnya menangani masalah kecelakaan dan sistem yang dikembangkannya pun sudah bisa interface. Begitu ada kecelakaan langsung melapor, bisa diekspor ke petugas pengurus konpensasi, penyelidikan, penyidikan, dan prevensi. Itu sudah berjalan, dan di tengah perjalanan itu bisa saling interface. Menyadari perbedaan antara masyarakat Indonesia dengan Singapura dalam hal kesadaran K3, Muji berjanji tidak akan sepenuhnya mengadop sistem tersebut. Rencananya, ia juga akan mengirimkan tenaga-tenaga untuk internship di kantor ILO. Dan ke depan masih banyak, katanya.

Bagaimana idealnya pengawasan itu. Harus membawahi berapa orang? “ Kalau itu kapasitas,” jawab Muji. Cuma, kapasitas itu cara menghitung pegawai pengawas tidak cukup membandingkan kapasitas dengan jumlah, sambungnya. Contoh di Singapura, 50 ke bawah itu tidak diawasi, 51-300 diawasi, 501 ke atas self inspection.

Meskipun definisi kecelakaan itu tidak terduga, tidak direncanakan, mengakibatkan kekacauan, sebagai seorang pengawas, bisa memastikannya. “Undang-undangnya konvensi ILO itu mixture bukan give quaranty. Kalau menjamin itu hanya Tuhanlah. Tetapi kalau memastikan, ini suatu proses perhitungan, melalui proses pengujian, pemeriksaan, sehingga kita bisa memastikan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun aman, misalnya,” katanya. Jadi dalam bahasa harus kita luruskan. Konvensi 81 tidak give quaranty tetapi to make sure.

Tugas yang kini mesti diemban ‘sang bintang sagitarius’ Antiochus Muji Handaya ini, sungguh tidak bisa dikatakan ringan dan main-main. Namun, dalam keterbatasan anggaran yang ada, dirinya tetap semangat dan optimis dalam menargetkan program-programnya.

Tahun ini ia mulai men-TOT (training of trainer)-kan para pengawas. “ Kita latih untuk membantu perusahaan-perusahaan agar mereka mampu menerapkan SMK3. Kita sudah melaksanakan di 3 tempat, total 180 pengawas, “ katanya. Tahun depan kita stimulasi dengan budget dekons, kita tugasi mereka. Kita tuntut ada suatu plan of operation dari mereka dan itu kita arahkan ke perusahaan menengah dan kecil. Kalau setahun, katakanlah dapat menerapkan 20, lumayan khan? gagas Muji. “Budget anggaran negara ini masih terbatas. Program kita di sini, sesuai dengan dokumen negara (RPJM), adalah perlindungan dan pengembangan sistem. Jadi apapun harus kita perbuat. Kalau menerapkan dana yang ada ya hanya begitu-begitu saja. Kita tahu ada 10 resep, dengan dana yang ada kita baru bisa menebus 3,” urainya. Jadi kita itu merana tapi kita kompak, selorohnya.

Sebentar lagi, gagasan Indonesia Os Architecture akan terwujud. Untuk keperluan tersebut, Muji sudah “memesannya” kepada salah satu lembaga. “Saya minta dijadikan sebuah buku, kemudian kita berada di mana, dan jalan menuju penyelesaiannya apa,” jelasnya. Pemikiran ini, konon, didorong dari simposium Asean Osnet. “ Kita dituntut menampilkan Os Profile. Setelah ada country profile tadi, dituntut untuk melakukan pengukuran dengan balance score card. Jadi efektivitas usaha-usaha K3 di sebuah negara nanti akan ketahuan,” katanya. Untuk plan of action ini bulan Februari lalu dibicarakan di Singapura, dan di-endorse di Laos. Kemarin, lanjutnya, di Kuala Lumpur diputuskan, itu mengikat Indonesia. Sejak Indonesia berdiri, belum pernah mendapatkan komplain mengenai pengawasan. Karena apa? Karena Indonesia berhasil meletakkan pengawasan dalam kedudukan yang benar, dalam UUD 45 di social justice di preambule. Sehingga negara berkewajiban mewujudkan keadilan sosial itu.

“Kita juga berhasil di amandemen UUD 45 pada masalah jaminan sosial, berserikat, keselamatan, masuk ke dalam kerangka HAM. Dan karena ini cita-cita negara dalam Pasal 28 huruf I menyatakan: Negara/pemerintah memajukan usaha-usaha HAM,” ungkap Muji. HAM itu termasuk waktu istirahat, perlindungan, upah, jaminan sosial. Jadi kita sudah meletakkan pada fungsi kerangka hukum yang benar. Di samping Indonesia juga mempunyai landasan kerja UU No. 3 Tahun 1951 untuk pengawasan, tambahnya.

Pengawasan itu harus bisa memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan ekonomi masyarakat di tempatnya. “Seandainya saya sebagai manajer pengawas di Kudus, kalau masalah ketenagakerjaan sektor tembakau rokok tidak saya amankan yang 90% pendapatan masyarakat dari itu, artinya saya bukan pengawas yang benar, “tegas Muji Handaya, mengakhiri bincang-bicang dengan KATIGA.

Tulisan ini pernah dimuat di majalah Katiga oleh penulis yang sama. Sumber foto: Progresif Jaya

Tidak ada komentar: