Selasa, 05 Mei 2015

Penumpah Kopi Indonesia (PKI) | BossIklan.com – Layanan Iklan Gratis

Penumpah Kopi Indonesia (PKI) | BossIklan.com – Layanan Iklan Gratis

TAMPANEN SEWU KEKALAHAN SADURUNGE NGGAYUH KAMENANGAN KANG WEKASAN (Setiap kegagalan memiliki nilai tersendiri, untuk mencapai keberhasilan yang sesungguhnya).

Rabu, 20 Maret 2013

15 Grammar Goofs That Make You Look Silly [Infographic]

by David K. William | The Web Writer Spotlight

We’re big advocates of conversational writing that’s engaging, persuasive, and fun. So that means it’s perfectly fine to fracture the occasional stuffy grammatical rule (and many times it’s preferable). On the other hand, making some grammatical errors just makes you look bad, and hurts your effectiveness. Sometimes we even misuse words simply because we hear others use them incorrectly. So, we’ve assembled the 15 most egregious grammar goofs into one helpful infographic. With this handy reference, you’ll never look silly again. Thanks once again to our friends at BlueGlass for the infographic design that makes my silly little words look cool. Enjoy!

15 Grammar Goofs That Make You Look Silly
Like this infographic? Get more content marketing tips from Copyblogger.

Jumat, 09 November 2012

22 Ways to Create Compelling Content When You Don’t Have a Clue [Infographic]

Yep, we’re introducing the first-ever Copyblogger infographic. It’s about our favorite topic — creating great content.
And, as has been our style since the beginning, we’re practicing what we preach. This infographic demonstrates how to repurpose existing content in a different media format, get more bang from your archives, and reach new and different audiences in the process.
The graphic is based on 21 Ways to Create Compelling Content When You Don’t Have a Clue by Copyblogger guest writer Danny Iny. We’ve re-imagined the way to present these content-creation tips, while adding a meta-fabulous #22 (you’ll see why).
Special thanks to our friends on the BlueGlass infographic team for making this thing look so good!

22 Ways to Create Compelling Content - Infographic
Like this infographic? Get more content marketing tips from Copyblogger

DAPATKAN POIN TANPA MODAL DI http://id.ipanelonline.com/member/index/

Rabu, 29 Februari 2012

Partners in Crime dan Branding Angie


‘If all my friends were to jump off a bridge, I wouldn’t jump with them, I’d be at the bottom to catch them.’





Siapapun yang mendengar quote di atas, pasti kagum. Betapa besar pengorbanan seorang sahabat sejati. Tali temali pertemanan yang begitu kuatnya sehingga seseorang mau melakukan apa saja demi untuk menyelamatkan temannya.



Pertemanan tersebut sudah masuk pada tingkat yang disebut dengan soulmates. Jelas bukan hanya pertemanan biasa.


Dalam buku saya yang terbaru yaitu ‘BRANDMATE: Mengubah Just Friends menjadi Soulmates’, dijelaskan sedikitnya tiga tingkatan pertemanan. Dari tingkat awal yang hanya sekedar just friends, lalu menjadi good friends hingga mencapai tingkat soulmates.

BRANDMATE menjelaskan proses branding dengan analogi pertemanan. Keterikatan seorang konsumen terhadap brand tertentu juga melalui proses yang sama. Tingkat loyalitas atau keterikatan emosional brand tercapai bila secara serius dibangun dan dikembangkan.

Dalam branding organisasi atau partai, setiap anggota organisasi juga mempunyai proses konversi ‘pertemanan’. Dari anggota biasa, lalu anggota yang semakin dekat secara emosional dengan organisasi, hingga yang loyal dan mencintai organisasinya secara utuh.

Tentu proses konversi tingkat kedekatan emosional ini sifatnya mutual. Tidak mungkin seorang anggota partai menjadi loyal bila dalam kesehariannya, organisasi tidak memperhatikan kebutuhan dan memahami para anggotanya. Loyalitas tercipta sebagai bentuk rasa saling memiliki.

Pertemanan ini yang saya lihat sudah luntur dalam kasus Angelina Sondakh. Tidak ada satupun dari temannya dari partai yang ada di dasar jembatan untuk menangkapnya.
Dia dibiarkan terjun dari jembatan sendirian.

Dalam peribahasa lama dikatakan ‘A friend in need is a friend indeed’. Teman sejati adalah teman di saat kita susah dan membutuhkannya, bukan hanya saat senang saja.

Ini terlepas dari masalah bohong atau tidaknya Angie, dan terlepas dari apakah benar Angie terlibat dalam mafia korupsi di organisasinya.

Saya ingin membahas dari sisi pertemanannya dulu. Kasihan juga Angie. Dia sendirian. Ditinggalkan ‘teman-teman’nya.

Angie, mana teman-temanmu yang hadir dalam pesta ulang tahun Keanu di hotel Sultan yang mewah itu? Tentu banyak yang menikmati pesta, dan jika mereka memang benar temanmu, kemana mereka sekarang?

Media memberitakan, tidak ada satupun temanmu dari Partai yang hadir di acara satu tahun meninggalnya suamimu, Ajie. Ini sangat kontras dengan saat penguburannya, para ‘teman partai’ hadir dan membantu meringankan kesedihan.

Partners in Crime

Kasus Angie mengingatkan saya pada pertanyaan salah satu peserta talkshow buku BRANDMATE minggu lalu. “Apakah Menurut Ibu, ‘Partners in Crime’ itu juga Soulmate?
Sebab, setau saya, ikatan yang terjalin dalam ‘mafioso’ justru lebih kuat
dibandingkan pertemanan biasa.”

Ini tentu bukan pertanyaan yang sederhana. Saya perlu berpikir keras agar bisa menjawabnya. Benarkah Loyalitas dalam ‘Partners in Crime’ ini sama seperti kekuatan soulmate yang saya jelaskan dalam BRANDMATE?

“Partners in Crime’ sendiri sebenarnya mempunyai makna ganda. Dalam bahasa anak-anak gaul, arti ‘Partners in Crime’ lebih diarahkan pada teman saat susah – saat benar-benar susah. Misalnya pada saat bersama mengerjakan tugas di kelas yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Atau partner saat susah payah cari dana dalam rangka penyelenggaraan kegiatan sekolah.

‘Partners in Crime’ dalam arti aslinya adalah pertemanan dalam mengerjakan kejahatan atau hal-hal negatif yang membahayakan atau merugikan orang lain.

Tampaknya soulmates dalam konteks kejahatan ini tidak bisa disamakan dengan soulmates analogi branding. Dalam branding, definisi brand yang kuat adalah yang diasosiasikan
dengan hal-hal yang positif.

Pertemanan yang dibangun dalam branding selalu mengarah kepada hal-hal yang punya nilai tambah. Loyalitas yang dibangun pun, walaupun mengarah pada tingkat emosional yang mendalam, tetap dalam koridor bahwa manfaat pertemanan ini masih sehat dan positif.

Dalam kehidupan kaum Yakuza yaitu para mafia Jepang, dikenal loyalitas total dan ini tanpa batas. Siapapun yang masuk dalam komunitas ini akan larut dalam kulturnya dan tidak bisa ditembus dari luar untuk memecahbelah ikatan satu member dengan lainnya. Soulmates dalam konotasi Yakuza sudah mengesampingkan nilai-nilai individu, karena nilai golongan yang lebih diutamakan.

Dalam konteks Angie dan partners in crime – yang bisa saya garisbawahi adalah kenyataan bahwa Angie tidak punya teman lagi.

Terserah mau didefinisikan dari sisi partners in crime yang bermakna negatif (kejahatan korupsi), atau mau didefinisikan dari sisi partners in crime yang berarti teman jaman susah (dari Partai Demokrat masih merangkak, Angie merupakan salah satu dari kelompok kecil orang penting partai). Tetap saja, partners in crime Angie hilang sudah.

Bersalahkah Angie? Tentu itu bukan tugas saya untuk mengadili. Pengadilan hukum yang akan menentukan. Setidaknya, dalam pengadilan media dan publik, Angie sudah dinyatakan bersalah. Brand imagenya turun drastis, brand valuenya merosot.

Yang terjadi saat ini adalah proses konversi yang sangat cepat dari para soulmates turun menjadi just friends, bahkan sebagian bahkan pindah berseberangan. Pekerjaan Rumah yang sangat kompleks untuk pembangunan kembali brand image seorang Angelina Sondakh.

Berapa jumlah soulmates yang masih tersisa, Angie?

‘A friend is someone who will catch you when you fall, dry your tears and tell you it will be all right, never leave you by yourself……..’

* (by AMALIA E. MAULANA on FEBRUARY 29, 2012)

Senin, 31 Oktober 2011

Tidak Ada Yang Mengaku Pengawasnya Cukup

Bukan orang baru di Kemenakertrans, ia memulai kiprahnya di sini, sejak 1982. Keyakinan akan samubarang yen wis titi wancine, Gusti Allah bakal marengake (segala sesuatu jika telah sampai pada waktunya, Tuhan akan memberi jalan), menjadi pegangan hidup laki-laki kelahiran Magelang, 13 Desember 1959. Untuk kesekian kalinya, itu terbukti dan menjadi kenyataan hidup pehobi olah raga yang mengaku menjalani hidup opo anane wae (apa adanya saja) ini.

Muji Handaya, yang mengawali kariernya sebagai staf Direktorat BPNPTK dengan pangkat pengatur muda-kala itu, kini telah berdiri paling depan sebagai orang nomor satu di Direktorat Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kemenakertrans. Belum lama ini, KATIGA berkesempatan menyambangi dan berbincang-bincang dengannya, di sela-sela pelantikan jabatan barunya, di kantor Kemenakertrans, Jakarta.

Sebelum menguraikan pandangannya tentang K3 ke depan, Muji Handaya menjelaskan, semua pekerjaan yang dilakukan di direktorat yang dikomandoinya merupakan sebuah sistem. “Oleh karena itu, program Direktorat Jendral Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan (PPK) ini juga perlindungan pengembangan sistem pengawasan,” katanya. Jadi fokus utama aktivitas dirjen itu, sambungnya, perlindungan yang pelaksanaannya dilakukan melalui sistem pengawasan.

Bagaimana perlindungan itu dilaksanakan? Menurutnya, saat ini semua unsur material perlindungan sudah ada pada aturan ketenagakerjaan, norma ketenagakerjaan, dan peraturan perundang-undanganan (perpu). Semua itu dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kondisi kerja yang menyangkut penempatan, pengupahan, waktu kerja, hungungan kerja, perikatan hububungan kerja, dan pemberian jaminan kecelakaan. Di negara-negara maju, ujar Muji, hal tersebut sudah tidak menjadi persoalan.

Ke dua, lingkungan kerja, yang juga merupakan bagian dari perlindungan. Itu termuat di dalam standar-standar, dan perpu. “ Saya memaknai di Indonesia itu masalah-masalah dasar ini belum selesai. Yang menyangkut kondisi kerja tadi belum selesai. Nah ini perlu suatu percepatan-percepatan,” tegasnya. Ini semua harus dijaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Karena peraturan perundang-undangan itu intinya adalah perlindungan, tandas Muji. Akhirnya muara kebutuhan dari perlindungan yang lebih tinggi adalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Orang inginnya pasti kerja itu selamat, orang bekerjanya itu sehat, dengan pengupahan yang baik, jaminan kerja yang baik, tanpa adanya pelanggaran, tidak ada diskriminasi, tidak ada bencana.

Mengkilas-balik perihal K3 ia membeberkan, awalnya Indonesia juga mengalami fase seperti negara-negara lain. “ Usaha-usaha di bidang K3 itu mempunyai sifat legalistik, dan monopolistik. Legalistik itu harus sesuai dengan peraturan, dan standar. Sedangkan pengertian monopolistik, K3 harus dipegang oleh orang-orang yang sudah mampu di bidangnya, dilatih, dan punya pengalaman, “ katanya. Ia memberi ilustrasi. Ketel uap produksi Jerman rusak kursi pipa uapnya, adanya di Jerman, harus diganti dari Jerman. Mahal khan? Itu dianggapnya cost, padahal ini khan investasi. Di negara maju K3 itu sudah investasi karena pasti ada return. Return yang berdampak pada kesejahteraan tenaga kerja, sehat selamat, dan terlindungi, return kontinuitas dari proses produksi jalan. Di Indonesia ada problem kultural yang harus dipecahkan. “ Makanya cukup tepat kalo kita di tahun 2015 itu mencita-citakan budaya K3. Indonesia yang mana? Ya, masyarakat industri dulu,” terangnya.

Kalaupun tidak tercapai, ya nggak apa-apa, sambungnya. Akan terus dikejar, itu merupakan suatu motivasi. Ini merupakan kerja keras yang harus terumuskan, dapat dipertanggungjawabkan secara program kepemerintahan, keilmuan, dan etik atau moral. Karena K3 juga merupakan progress, science, tapi juga suatu etik. Jika pencapaian sudah tinggi, safety and health itu adalah personal business, menjadi tanggung jawab moral dari setiap orang, bukan perusahaan. “ Kita akan mengubah suatu kultur, moral. Karena itu yang paling tepat adalah melalui pendidikan,” tegasnya.

Membandingkan dengan negara Eropa yang masyarakatnya sudah cukup mempunyai kesadaran akan keselamatan, ia menunjukkan, “Lihat perilaku manusianya. Lebih sosial, santun, hati-hati masyarakat sana dibanding orang kita. Mengapa? Kita belum mempunyai pemahaman, penghayatan, sehingga belum muncul suatu morality, “ katanya, menggebu. Jadi konstruksi ke dalam kesisteman di dirjen ini harus dicapai karena itu sebagai highest goal setiap orang. Ketika pengaturan waktu kerjanya tidak baik, 12 jam kerja per hari, misalnya, pasti orang lelah, lalai. Near accident. Upah rendah, orang cenderung bekerja lebih lama untuk dapat lembur. Near Accident.

Muji menyatakan tepat jika direktoratnya mencanangkannya bergerak di bidang perlindungan. “ Itu satu sisi untuk human. Untuk capital yang lain, asset. Kalau cara kerjanya safe, otomatis masalah ledakan, kebakaran, slading bisa dihindari. Artinya kerugian harta benda sebagai asset perusahaan bisa dihindari. Itu aspek lain dari tujuan perlindungan,“ paparnya. Direktorat yang ia pimpin, tambahnya, harus mengatasi problema-problema yang ada, merumuskan solusinya, dan semua asset yang dimiliki. Jadi money follow function.

Sebagai “panglima” di Direktorat PPK, kini dirinya telah menetapkan langkah menuju budaya K3 2015. Pertama, mengembangkan safety officer. Menurutnya, semuanya banyak bergantung pada peran yang satu ini. “Di Indonesia, model pengawasannya partisipatori. Lembaga lain bisa melakukannya meskipun secara officially tidak mempunyai hak pro justicia, dan dalam lingkup yang lebih kecil, “ tegas Muji. Ke dua, mengembangkan ahli K3 baik umum maupun spesialis. Untuk ini, perlu suatu lembaga yang mampu mencetak itu. LPJK3 diperbanyak agar dapat mencetak para safety officer. “ Ini adalah garda depan dalam pencapaian budaya K3,” tandasnya.

Ke tiga, memulai dengan standard setting, antara lain menyusun kebijakan, peraturan dan segala macamnya. “Kemenakertrans telah mengeluarkan Permen No. 272, itulah wujudnya. Itu, standard setting, “ tunjuknya. Kita ingin semua perusahaan menerapkan standar, memasukkan K3 ke dalam manajemen (SMK3). Ada punishment and reward, katanya, sungguh-sungguh. Ke empat, bekerjasama dengan perguruan tinggi, seperti mendirikan piteknik K3, dan national campaign. “Kita kembangkan lembaga-lembaga konsultan. Dulu, hanya Sucofindo dan sekarang sudah ada 5 lembaga konsultan,”paparnya.

Ke lima, membentuk perpu, legal formalnya. “Kita kembangkan yang permen masuk ke perpu. Kita masih banyak masalah. UU Uap masih permen. Kita tidak bisa mendiamkan upah rendah yang mendorong orang bekerja lama dan ini unsafe. Juga pemakaian tenaga kerja dalam waktu lama.” tandasnya. Ia memandang perlu untuk menaikkan status permen menjadi perpu, sebab sanksi pada undang-undang yang ada dinilainya tidak memberikan efek jera, dan kurang memiliki daya ikat. “Saya akan senang sekali jika K3 itu lebih maju ketika punishment-nya dapat memberikan efek jera,” katanya.

Kini, jajarannya pun tengah menjajagi kerjasama ke berbagai elemen, khususnya Kementerian Hukum dan Ham. Harapannya, jelas, kelak bisa segera membentuk perpu yang saat ini masih permen-permen yang rendah daya ikatnya dan tidak bisa memberikan sanksi. “ Kalau perpu khan bisa! Itu legal formal. Itu standard setting,” tegasnya.

Trik khusus untuk meningkatkan efektivitas pengawasan? “Tidak ada di dunia ini yang mengaku pengawasnya cukup. Untuk membuat pengawasan lebih efektif harus mengembangkan sistem pengawasan menjadi efektif dan modern, “ katanya, yakin. Modern dalam artian dengan mengembangkan peran-peran pihak. Selama 2 tahun terakhir ini dirinya sudah aktif melakukan pembicaraan-pembicaraan dengan kantor Jenewa. Kini sebanyak 150 orang tenaga pengawas telah menjalani 3 kali latihan. “Kita ingin menumbuhkan kader agar mereka mempunyai ketahanan mental, pandangan visi yang baik terhadap tugas-tugas,” katanya, bersemangat.

Untuk mengembangkan peran-peran tersebut, direktoratnya akan melakukan high level tripartite, meeting on levering inspection yang dihadiri oleh perwakilan Jenewa, bulan Oktober. Di situlah, kesepakatan-kesepakatan tripartit nasional akan dicapai. Tak lama lagi, pihaknya akan melakukan workshop di Hotel Sheraton Mustika Yogya. “Kita datangkan ILO regional dari Bangkok, pembicara EIU, dan Asia. Dari sekitar 60 negara yang akan berpartisipasi dan itu juga suatu sisi nama baik Indonesia,” jelasnya. Bulan November, ia dan timnya akan berangkat ke World Congres di Turki. Indonesia akan memulai corner speech mengenai best practice, dan bagaimana Indonesia menjalankan OS-nya. Pihaknya juga akan mengembangkan jaringan informasi pengawasan sesuai perintah Kepres No. 21/2010.

Saat ini, ia tengah mengirimkan tim guna mempelajari sistem IT Singapura terkait dengan pelaksanaan norma K3, khususnya masalah kecelakaan. Karena di sana fokusnya menangani masalah kecelakaan dan sistem yang dikembangkannya pun sudah bisa interface. Begitu ada kecelakaan langsung melapor, bisa diekspor ke petugas pengurus konpensasi, penyelidikan, penyidikan, dan prevensi. Itu sudah berjalan, dan di tengah perjalanan itu bisa saling interface. Menyadari perbedaan antara masyarakat Indonesia dengan Singapura dalam hal kesadaran K3, Muji berjanji tidak akan sepenuhnya mengadop sistem tersebut. Rencananya, ia juga akan mengirimkan tenaga-tenaga untuk internship di kantor ILO. Dan ke depan masih banyak, katanya.

Bagaimana idealnya pengawasan itu. Harus membawahi berapa orang? “ Kalau itu kapasitas,” jawab Muji. Cuma, kapasitas itu cara menghitung pegawai pengawas tidak cukup membandingkan kapasitas dengan jumlah, sambungnya. Contoh di Singapura, 50 ke bawah itu tidak diawasi, 51-300 diawasi, 501 ke atas self inspection.

Meskipun definisi kecelakaan itu tidak terduga, tidak direncanakan, mengakibatkan kekacauan, sebagai seorang pengawas, bisa memastikannya. “Undang-undangnya konvensi ILO itu mixture bukan give quaranty. Kalau menjamin itu hanya Tuhanlah. Tetapi kalau memastikan, ini suatu proses perhitungan, melalui proses pengujian, pemeriksaan, sehingga kita bisa memastikan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun aman, misalnya,” katanya. Jadi dalam bahasa harus kita luruskan. Konvensi 81 tidak give quaranty tetapi to make sure.

Tugas yang kini mesti diemban ‘sang bintang sagitarius’ Antiochus Muji Handaya ini, sungguh tidak bisa dikatakan ringan dan main-main. Namun, dalam keterbatasan anggaran yang ada, dirinya tetap semangat dan optimis dalam menargetkan program-programnya.

Tahun ini ia mulai men-TOT (training of trainer)-kan para pengawas. “ Kita latih untuk membantu perusahaan-perusahaan agar mereka mampu menerapkan SMK3. Kita sudah melaksanakan di 3 tempat, total 180 pengawas, “ katanya. Tahun depan kita stimulasi dengan budget dekons, kita tugasi mereka. Kita tuntut ada suatu plan of operation dari mereka dan itu kita arahkan ke perusahaan menengah dan kecil. Kalau setahun, katakanlah dapat menerapkan 20, lumayan khan? gagas Muji. “Budget anggaran negara ini masih terbatas. Program kita di sini, sesuai dengan dokumen negara (RPJM), adalah perlindungan dan pengembangan sistem. Jadi apapun harus kita perbuat. Kalau menerapkan dana yang ada ya hanya begitu-begitu saja. Kita tahu ada 10 resep, dengan dana yang ada kita baru bisa menebus 3,” urainya. Jadi kita itu merana tapi kita kompak, selorohnya.

Sebentar lagi, gagasan Indonesia Os Architecture akan terwujud. Untuk keperluan tersebut, Muji sudah “memesannya” kepada salah satu lembaga. “Saya minta dijadikan sebuah buku, kemudian kita berada di mana, dan jalan menuju penyelesaiannya apa,” jelasnya. Pemikiran ini, konon, didorong dari simposium Asean Osnet. “ Kita dituntut menampilkan Os Profile. Setelah ada country profile tadi, dituntut untuk melakukan pengukuran dengan balance score card. Jadi efektivitas usaha-usaha K3 di sebuah negara nanti akan ketahuan,” katanya. Untuk plan of action ini bulan Februari lalu dibicarakan di Singapura, dan di-endorse di Laos. Kemarin, lanjutnya, di Kuala Lumpur diputuskan, itu mengikat Indonesia. Sejak Indonesia berdiri, belum pernah mendapatkan komplain mengenai pengawasan. Karena apa? Karena Indonesia berhasil meletakkan pengawasan dalam kedudukan yang benar, dalam UUD 45 di social justice di preambule. Sehingga negara berkewajiban mewujudkan keadilan sosial itu.

“Kita juga berhasil di amandemen UUD 45 pada masalah jaminan sosial, berserikat, keselamatan, masuk ke dalam kerangka HAM. Dan karena ini cita-cita negara dalam Pasal 28 huruf I menyatakan: Negara/pemerintah memajukan usaha-usaha HAM,” ungkap Muji. HAM itu termasuk waktu istirahat, perlindungan, upah, jaminan sosial. Jadi kita sudah meletakkan pada fungsi kerangka hukum yang benar. Di samping Indonesia juga mempunyai landasan kerja UU No. 3 Tahun 1951 untuk pengawasan, tambahnya.

Pengawasan itu harus bisa memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan ekonomi masyarakat di tempatnya. “Seandainya saya sebagai manajer pengawas di Kudus, kalau masalah ketenagakerjaan sektor tembakau rokok tidak saya amankan yang 90% pendapatan masyarakat dari itu, artinya saya bukan pengawas yang benar, “tegas Muji Handaya, mengakhiri bincang-bicang dengan KATIGA.

Tulisan ini pernah dimuat di majalah Katiga oleh penulis yang sama. Sumber foto: Progresif Jaya

Selasa, 16 Agustus 2011

Tidak ada alasan menolak biaya program K3

Rasanya, waktu berjalan begitu cepat ketika kami harus berbicara dengan Erman Suparno, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Indonesia Bersatu I ini. Banyak gagasan yang belum tuntas disampaikan namun sering “terganggu” oleh sang sekretaris dan orang-orang kepercayaannya yang menginterupsi meminta tanda tangan, mengingatkan jadwal rapat atau sekedar minta komfirmasi tentang sesuatu hal. Di markas tempat ia memimpin PT Trubajurong Engineering di bilangan Jakarta Selatan itu, bara semangat Erman Suparno tetap menyala ketika majalah KATIGA mengajaknya berbincang tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Perhatian dan kegandrungannya terhadap masalah ketenagakerjaan di Indonesia, utamanya K3 bagai tak lekang oleh waktu meski jabatan resmi sebagai menteri yang membidangi masalah tersebut telah berakhir, 22 Oktober 2009 lalu.

Mencermati masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) ia coba mempertanyakan keberadaannya.“ Apakah K3 tetap mau tergantung pada pemerintah atau independen?”, tanya Erman. Kalau independen itu harus ada kerjasama di ranah tripartit nasional karena menyangkut tiga pihak. Dan itu pernah saya bentuk, tambahnya.

Dari sisi pandang pengusaha Erman berempati bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang menghendaki terjadinya kecelakaan di lingkungan kerja. “ Mereka menghendaki karyawannya selamat dan sehat. Dengan demikian produktivitasnya terpelihara, bahkan lebih meningkat dan tidak ada biaya ekstra yang harus dikeluarkan untuk pengobatan atau kematian dan sebagainya,“ tuturnya. Sementara dari sisi pandang karyawan, menurutnya sangat filosofis bahwa mereka bekerja mencari naskah untuk dirinya/keluarganya dengan selalu sehat dan selamat sekaligus bisa meningkatkan karirnya. Dan dari sisi pemerintah, katanya, itu menunjukkan the real political will bahwa pemerintah melindungi warganya, baik masyarakat pengusaha maupun pekerja.

Yang penting dari itu semua, secara makro atau strategi public policy bahwa K3 itu adalah sebuah kebijakan yang memberikan nilai tambah yang hakiki yaitu membangun harmonisasi hubungan industrial. “Kalau perusahaan tidak peduli dengan K3 itu khan pekerja juga merasa tidak diperhatikan,” sentilnya.

Dalam melihat kondisi objektif K3 di Indonesia, Erman Suparno, dari dulu, saat menjadi pejabat negara hingga kini sebagai pelaku K3 tetap konsisten mengatakan bahwa landasan berpijak K3 itu bersumber pada UUD 1945. “ Pada dasarnya kepedulian terhadap K3 itu harus menjadi sebuah gerakan yang mengarah kepada pembudayaan K3. Jadi gerakan membudayakan K3 menjadi kewajiban, “ tegasnya. Itu secara konstitusional sesuai UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yaitu tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tegasnya, lagi.

Mengurai lebih jauh hal tersebut, ia mengatakan pasal itu mengandung makna bekerja yang sehat dan selamat. “ Oleh karena itu menjadi kewajiban kita bersama untuk membudayakannya. Di negara-negara maju K3 itu sudah membudaya, enggak usah diperintahkan semua melekat di dalam hati masing-masing. Pengusaha, pekerja, dan pemerintah, “ katanya. Makanya yang itu, Erman menunjuk judul poster kecil di sudut kanan atas meja kerjanya dengan endorser “trio bintang pejabat negara” pada masanya yakni Yusuf Kalla, dirinya, dan Muhaimin Iskandar yang berbunyi ‘Kita budayakan K3 untuk meningkatkan mutu dan produktivitas kerja’. “Semboyan itu saya ciptakan sejak saya jadi menteri,” akunya.

Coba kembali membuka catatan lama, persisnya kala menjabat menteri, ayah 4 anak kelahiran Purworejo, 20 Maret 1950 ini memang ke mana-mana gencar melakukan gerakan K3. Tindakan kongkret di lapangan seperti apa? “Setiap perusahaan di dalam penandatangan SKB itu wajib hukumnya mempunyai klinik pekerja. Ada satgas K3 yaitu tim khusus untuk mengurusi K3 (dari pekerja untuk pekerja),” kenangnya. Selain itu, Erman juga memberlakukan reward and punishment dan secara implementasi setiap tahun ia mengumumkan perihal penurunan kecelakaan kerja nasional di koran-koran. Dirinya berani memastikan jika K3 sudah membudaya, kecelakaan nihil (zero accident) bakal tercapai.

Itulah kunci membangun harmonisasi hubungan industrial versi Erman Suparno yang diyakini akan membawa dampak ekonomi, sosial budaya dan politik. “ Waktu jadi menteri, setiap saya membuat program pendekatannya selalu sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik. Kalau tidak komprehensif begitu akhirnya jadi wacana doang, “ ujarnya. Tak urung naluri kekritisannya pun akhirnya menghunjam pemerintahan. Ia menganalisis bahwa antara biaya yang dikeluarkan per 5 tahun dan hasilnya (pemilu-Red.) menurutnya tidak optimal. “Maka saya bisa menyebutkan bahwa yang terjadi adalah wasting time and wasting cost, “ tegas Erman. Bukan salahnya sistem pemilu tetapi tidak optimalnya hasil pemilu pemerintahan, jelasnya.

Masih berbicara dalam topik yang sama, ia mendefinisikan pemilu sebagai sarana untuk membuat keputusan, memberikan amanah/mandat kekuasaan kepada pemerintahan. Legislatif, eksekutif, dan yudikatif. “Pemilu adalah sarananya, demokrasi adalah caranya, dan peningkatan kesejahteraan rakyat tujuannya. “ katanya berapi-api. Ia pun mensinyalir terjadinya salah kaprah bahwa pemilu sekedar untuk ajang cari job, bagaimana bisa menjadi anggota dewan, menteri dan sebagainya. “ Kalau istilahnya orang NU itu sudah lepas dari khitahnya…hahaha,” derai tawanya pun tak terbendung. Akhirnya tidak optimal, sambungnya. Makanya, akhirnya pengangguran dan kemiskinan bukan menjadi target hasil, tapi hanya dipakai untuk wacana reforia politik, untuk alat jualan semata.

Balik ke pokok pembicaraan semula tentang K3, politikus PKB yang membidani lahirnya Yayasan Samiaji dan Ketoprak Humor di tengah himpitan krisis berat 1997 ini menegaskan kembali bahwa dalam membangun K3 pendekatannya selalu bertumpu pada tiga azas tadi. Secara sosio budaya, katanya, masyarakat pekerja, pengusaha dan pemerintah pasti menghendaki supaya bekerja itu selamat dan sehat. “Oleh karena itu K3 harus dibudayakan. Komitmen itu tidak perlu dikejar-kejar, ada kesadaran untuk membudayakan K3,” ujarnya. Secara spiritual dalam bekerja doanya khan selamat, tambahnya.

Secara ekonomi, ketika lingkungan kerja sehat karyawan pun sehat, dan itu akan meningkatkan produktivitas, kualitas, efisiensi dan daya saing. Nah setelah ini tercapai ia akan memberi kontribusi berupa pajak dan sebagainya. Kalau semuanya tercapai maka secara sosio politik itu the real action political will dari pemerintahan. Melindungi masyarakat pengusaha dan pekerja. Maka kalau pemerintah melalui departeman yang diamanatkan tidak “nggubris” atau peduli K3 itu namanya tidak melaksanakan amanat. Wong itu di UUD 1945 jelas, tunjuknya.

UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Negara bertanggung jawab memberikan ruang dan kesempatan warganya untuk bekerja itu mengandung makna bekerja itu harus selamat, sehat, dan sejahtera. Implementasi K3 itu harus ada perencanaan, pengawasan, evaluasi. Ini menjadi feed back. Plan-Do-Check-Action, Plan-Do-Check-Action itulah manajemen sistem K3. Ketika saya menggerakkan, action-nya baru 30 persenlah, mestinya harus dilanjutkan, katanya, sunguh-sungguh.

Mengapa program yang dirintisnya itu tak juga dilanjutkan, menurutnya, karena kurangnya kepedulian dari pihak pemerintahan, baik yudikatif, eksekutif, dan legilsatif. Kalau ada kepedulian dan konstitusionalnya dipahami, itu wajib hukumnya. “ Jadi politik anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat itu tidak alasan untuk menolak biaya program K3,” tegas Erman. Itu dari pemerintahan, sedangkan dari pihak pengusaha mustinya ada program Corporate Social Responsibility (CSR).

Tujuan pemerintah adalah membangun pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dan itu harus diterjemahkan oleh siapa pun yang menjadi menteri ekonomi. Oleh karena itu akan menjadi percuma kalau pertumbuhan ekonomi tinggi tapi tidak berkualitas. Nah makna pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertama, terjadi pemerataan dan keadilan pertumbuhan. Jadi yang tumbuh jangan hanya kelompok-kelompok tertentu. Kedua, harus memberikan indeks kesejahteraan masyarakat, pengusaha, pekerja, dan masyarakat umum. Kesejahteraan berupa apa? Kesejahteraan berupa pendapatan, yang seimbang bisa memenuhi kelayakan, ke dua sehat yang terakhir selamat.

Jadi makna kesejahteraan itu, lanjutnya, bukan hanya semata-mata gajinya besar. Gajinya besar tapi bolak-balik ke rumah sakit karena lingkungan kerjanya nggak sehat. K3 itu komponennya khan macam-macam. Ada pencegahan dan lain-lain. Kala itu, waktu departemen yang dipimpinnya hendak membeli mobil saja, berapa pencegahan kesehatan kerjanya. Setiap provinsi saya kasih mobil K3. Itu untuk mengecek ke pabrik-pabrik. Dampak lingkungan, cek fisik ada penyakit apa tidak. “Ha itu harus ada gerakan nasional K3, “ jelasnya. Makanya K3 boro-boro menjadi budaya nanti bisa pudar lagi. Itu harus ada pemahaman betul oleh sang penguasa yang diberi kuasa untuk kebijakan itu. Menurut saya, kalu program menteri sebelumnya baik, menteri berikutnya ya harus meneruskan, ajaknya.

Sebuah media masa menulis ihwal program yang pernah Erman canangkan. Ini berangkat dari sebuah problematik yang ada di pulau jawa yaitu menumpuknya kemiskinan, dan adanya penyakit sosial. Lantas kalau terjadi, misalnya, pelacuran anak di bawah umur atau gadis remaja karena faktor ekonomi, apa solusinya? “Nah siapa pun yang berkuasa, yang jadi manajer negara dalam hal ini presiden, harus punya konsep yang holistik komprehensif itu. Selama tidak punya, ya itu hanya menghabiskan dana saja. “ katanya.

Sama ketika saya memimpin departemen, ungkapnya, saya khan “dasdes-dasdes” (tegas dan cekatan-Red.), istilahnya anak-anak itu konsepnya begitu programnya begini, larinya 100 kita kalang kabut. K3 itu dulu khan ada gerakan massif. Bukan hanya pas peringatan K3 . Setiap saya kunjungan daerah ke pabrik, itu langsung saya genjot K3-nya, terus kemudian gerakan inspeksi mendadak. Seperti gedung di Jakarta, tempat terjadinya kecelakaan sopir yang jatuh, itu khan saya langsung sidak. Waktu itu saya ditentang, menakertrans kok ngurusi gedung. Sopir yang meninggal itu khan tenaga kerja, belanya. “Bahkan ada beberapa gedung yang saya tutup, termasuk gedung jamsostek…hahaha, “ tawanya lepas.

Sejauh pengamatannya, sampai saat ini pelaksanaan K3 di Indonesia masih menghadapi kendala. Baik dari pemerintah, pengusaha maupun para pekerja sendiri. Erman menyebut tiga hal, yaitu kurangnya konsistensi dan political will dari pemerintahan (legislatif pemegang politik anggaran) dengan porsi yang proporsional terhadap gerakan K3, kurangnya perhatian pemerintah dalam mengusulkan secara konstitusional dan professional ke dewan tentang anggaran program, dan masyarakat pelaku K3 (pengusaha dan pekerja) belum memprioritaskan safety first. Jadi safety first itu belum dibudayakan dan membudaya di lingkungan pekerja, ungkapnya.

Yang tak kalah penting, menurutnya, adalah law enforcement yang lebih tegas dari pemerintah. Terus terang ia kurang setuju dengan pengenaan sanksi yang ringan manakala terjadi suatu kecelakaan. Menyikapi kenyataan tersebut, dulu ia pernah mengusulkan perubahan undang-undang namun hingga sekarang ini, belum berhasil. “Kalau kesadaran K3 itu betul-betul telah merasuk dan menjadi kesadaran utama di setiap masyarakat pengusaha dan pekerja maka secara otomatis corporate culture akan terbentuk,” katanya, yakin.

Bagaimana menstimulasinya, juga adakah yang bisa dilakukan, misalnya, di sektor pendidikan, agar K3 di Indonesia lebih baik? Tidak harus menunggu pemerintah. Namun menurutnya, harus dibantu dengan lembaga SMK3. Yang menjadi persoalan adalah masalah biaya. “Kalau biaya sendiri ya berat, makanya harus ada subsidi, “ katanya. Sementara di sektor pendidikan, setiap penyelenggara sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi harus sadar betul bahwa output-nya adalah angkatan kerja. Oleh karena itu mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan sosialisasi atau lebih baik lagi memasukkannya dalam kurikulum selama satu semester untuk pengenalan ketenagakerjaan, karena K3 merupakan bagian dari strategi manajemen ketenagakerjaan itu sendiri. Tidak heran, waktu itu, muncul idenya untuk mengadakan Kios 3 in 1, semacam lembaga pelatihan yang memadukan sertifikasi dan penempatan tenaga kerja dalam layanan satu atap.

DR. Ir. Erman Suparno, MBA, Msi, hari-harinya terus diabdikan bagi kemajuan perusahaan, organisasi sosial kemasyarakatan hingga kepentingan bangsa. Maka jangan heran jika suatu ketika Anda menemukan dia di perkumpulan pedagang bakmi dan baso, perkumpulan penggemar keris, ketoprak humor, hingga seminar nasional atau internasional. Satu, yang tak boleh dipandang sebelah mata adalah konsep Erman dalam manajemen membangun negara bangsa.“ Hanya ada 2 variable utama, yaitu pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang kita miliki, “ tegasnya. Membangun SDM itu ada 3 sistem yang tidak boleh dipisah dan dikurangi, yaitu sistem kependudukan yang substansinya mengendalikan jumlah dan kualitas penduduk. Sistem kependidikan, kurikulum harus link and match dengan pengelolaan SDA yang kita miliki. Sistem ketenagakerjaan, angkatan kerja harus diarahkan ke budaya menciptakan pekerjaan bukan mencari pekerjaan. “ Human development dengan sistem itu yang saya sebut holistik komprehensif. The goal-nya adalah SDM yang cerdas, bangsa Indonesia yang cerdas.“ Itulah makna dari mukadimah UUD 1945 yaitu tujuan bernegara itu salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, ujarnya mantap.

Foto dari galeri tokoh. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah KATIGA, ditulis oleh penulis yang sama.

Senin, 15 Agustus 2011

"PDAC akan hambar jika tak dijiwai", kata DR. Waluyo


Mencapai nill insiden dalam setiap proses bisnis yang dijalankan, baik di hulu, pengolahan maupun pemasaran. Inilah tujuan implementasi HSE di Pertamina.

Berbicara tentang kepemimpinan (leadership) adalah berbicara tentang tanggung jawab dan komitmen. Untuk mengukur keberhasilan kepemimpinan, lantas orang pun sering menghubungkannya dengan pemenuhan sebuah kontrak/janji untuk melaksanakan sesuatu atau yang disebut komitmen tersebut. “Leadership dan komitmen adalah sesuatu yang saling memperkuat,” tegas Direktur Umum PT Pertamina, DR. Waluyo, di kantornya, baru-baru ini.

Bagaimana ia menerapkan sistem manajemen ke dalam perusahaan, dan bentuk kongkrit komitmen tersebut seperti apa? “Komitmen top manajemen dimulai dari kebijakan K3 yang diterapkan,” katanya. Selanjutnya, ia menjelaskan secara gamblang kepada Majalah KATIGA bentuk kongkrit dari komitmen tersebut.

Di bidang pelatihan, misalnya. Pertamina telah membangun HSE Training Center. “Itulah revitalisasi,” katanya. Bukan hanya itu, sebentar lagi juga akan didirikan Marine Maintenance Training Center di Jakarta. Di sinilah tersedia fasilitas pelatihan safety dan environment. Mengenai identifikasi resiko yaitu penerapan salah satu golden safety through, seluruh unit dalam melakukan pekerjaan dimulai dengan job safety analysis. Penerapan Contractor Safety Management System (CSMS) pun dimulai dari risk analysis, baik terhadap pekerjaan kontrak yang akan dan sedang dilakukan. Kemudian dalam memegang komitmen prioritas pertama untuk aspek HSE, Waluyo mencontohkan ketika dulu ada pekerjaan drilling (di Sumatera) terjadi banjir, maka pekerjaan tersebut distop. “Itu khan merupakan bentuk dari komitmen,” terangnya.
[Infographic provided by Grammar.net]
Bentuk komitmen yang lain adalah penerapan management walkthrough yaitu meluangkan waktu ke lapangan, dan berkomunkasi langsung dengan para pekerja. “Sekarang pun sudah menjadi budaya, apabila terjadi lost standing accident pimpinan tertinggi operasi datang langsung ke tempat kejadian menemui warganya, “ Itu juga merupakan bentuk leadership kongkrit, “ imbuhnya.

Pengalamannya selama 30 tahun bekerja di perusahaan migas, cukup mematangkan perjalanannya hingga mengantarkan ia menjadi orang yang memiliki jabatan tinggi di perusahaannya. Kapabilitas kepemimpinan Waluyo semakin teruji oleh waktu. Maka ketika harus menyusun sebuah program HSE di perusahaannya, itu pun ia lakukan dengan mudah. “Seperti awal tahun ini. Semuanya khan dimulai dari risk analysis dari setiap unit operasi. Dan itu dibuat, dibawa langsung ke atas. Yang kedua, analisa dari kejadian-kejadian tahun kemarin. Dari analisis-analisis itu kita buat analisis hal apa saja yang perlu kita lakukan intervensi dan juga record dari hasil management walkthrough, finding dari audit. Semuanya diolah sedemikian rupa untuk dijadikan suatu program apa yang harus dilakukan pada tahun yang berjalan, “ katanya, runut. Nah di situ diterjemahkan kegiatan-kegitan apa saja yang harus dilakukan, oleh siapa, kapan, di mana dan sebagainya. Sehingga kita dapat mengukur pencapaiannya pada saat kita melakukan pekerjaan tersebut, katanya, lagi.

Ihwal struktur organisasi HSE yang diterapkan di PT Pertamina, ia menjelaskan bahwa VP HSSE melapor ke BOD, di mana di sini dipresentasikan ke direktur umum, juga yang memegang kebijakan di korporat, dan juga eksekusi di kantor pusat. Sedangkan untuk anak-anak perusahaan, pimpinan melapor pimpinan tertinggi setempat, untuk direktorat juga langsung ada eksekusinya, pimpinan HSSE pun lapor kepada direkturnya. Jika di lapangan, kepala HSSE lapor ke GM atau dengan kata lain pimpinan tertinggi di unit operasional masing-masing.

Membangun budaya safety, diakuinya memang bukan perkara yang mudah namun bukan berarti itu tidak bisa dilakukan. “Budaya HSE itu merupakan tanggung jawabnya line management. Struktur organisasi HSE staf itu sebagai advisor-nya line management. Sebagai nara sumber, expert-nya, pada saat diperlukan memberikan advice, guidance, malakukan analisis dan melakukan monitor dan evaluasi, dan itu nanti feedback-nya diberikan ke highest postion di setiap masing-masing lokasi. Itu semua dijadikan pegangan sebagai langkah tindak, rencana kegiatan untuk kegiatan operasinya itu sendiri, “ kata Waluyo. Kini dirinya memang tengah mengupayakan organisasi yang dipimpinnya menuju organisasi yang berbudaya HSE. Menurutnya, budaya HSE tak lain adalah budaya caring, atau peduli. “Kalau safety culture terbentuk, itulah yang kita tuju. Dan mudah-mudahan nantinya ada saling peduli dan mengingatkan,” harapnya.

Menanggapi sebuah hipotesis: kepemimpinan HSE yang sukses akan menjamin kesuksesan dalam operasi kinerja yang lain, DR. Waluyo pun sependapat. “Yang namanya manajemen itu pasti ilmu yang dipakai adalah Plan-Do-Check-Action. HSE itu salah satu contoh. Mengolah HSE itu diperlukan planning yang pas, eksekusinya bagaimana, melakukan monitoring, melakukan eksekusi itu diperlukan karakter dan disiplin diri yang kuat. Nah kalo seandainya berhasil di situ, nantinya di mana pun itu akan menjadi habit,” katanya.

Lebih jauh ia mencontohkan bagaimana prinsip mengelola HSE di perusahannya. “Dalam PDAC itu akan hambar kalau tidak dijiwai. Tapi kalau semua itu dilakukan karena passion kita, jiwa, roh kita, dan nyawanya di situ, ada spiritnya. Semuanya itu didasari karena kita peduli,” ujarnya. Karena kita tidak mau orang lain celaka, nah proses PDAC rasanya menjadi lebih bermakna karena semuanya itu dimulai dari hati. Selain melakukan pendekatan secara personal juga pendekatan kesisteman. Pendekatan personal untuk meningkatkan intrinsic motivation dan pendekatan kesisteman untuk membentuk orang lebih disiplin bagi orang yang kurang peduli atau kurang aware, karena sistem mengharuskan seperti itu. Contohnya: Orang masuk pabrik tetapi secara kesisteman harus memakai alat pelindung diri (APD), orang dipaksa. Setelah masuk memakai APD menjadi sadar ternyata itu memberikan manfaat dan ini menjadi terbiasa. Orang naik mobil harus memakai safety belt, pertamakali dipaksa, lama-lama menjadi biasa. Itu pendekatan ektrinsik. Sedangkan pendekatan intrinsik, orang cukup dikasih penjelasan, alasan, dan orang menerima logikanya sehingga tanpa adanya peraturan pun orang mau melakukannya, tambahnya, bersemangat.

Langkah dan upaya PT Pertamina menuju kinerja HSE yang excellent memang terus dilakukan. Untuk membangun mental seperti itu diperlukan analisis guna memetakan kondisi yang ada saat ini. “Kalau di Pertamina dari 12 elemen SMK3LL misalnya. Dari sisi kebijakan di level berapa. Misalnya 1-5 menurut rating Dupont. Di bidang kepemimpinan di level berapa dan seterusnya. Dari assessment tersebut bisa diketahui, gap kita ada di mana. Itulah salah satu masukan untuk membuat road map menuju kinerja HSE yg excellent. Audit assessment adalah salah satu alat ukur untuk penentuan langkah kerja di samping kecelakaan tahun kemarin, hasil audit management walkthrough, safety walk and talk. Semuanya dirangkum untuk dijadikan pegangan sebagi langkah aksinya,” katanya, meyakinkan.

Bagaimana cara Waluyo meningkatkan motivasi dalam pelaksnaan HSE? Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah memberikan award. Award itu sendiri ada yang namanya external award dan internal award. Kalo external award itu penghargaan dari luar supaya termotivasi. Tetapi ada orang yang yang tipenya internal award yaitu motivasi yang dilakukan secara intrinsik di mana salah satu pendekatannya adalah personalized atau mempersonalkan aset personal dari setiap kegiatan safety, jelas Waluyo.

Peran dan kebijakan PT Pertamina dalam membangun budaya safety di Indonesia pun dikemukakan DR Waluyo, siang itu. Pertama, Pertamina harus membangun Sistem Manajemen K3 dan Lindungan Lingkungan (SMK3LL) berikut budayanya di internal dulu. Kalau di internal sudah matang, pegawainya termotivasi, terinternaliasai untuk melakukan pekerjaan on the job dan of the job, otomatis 15.000 pegawai Pertamina itu akan menjadi agen HSE untuk juga di luaran. Ke dua, secara institusi Pertamina mempunyai fasilitas HSE Training Center di Sungai Gerong, Marine Maintenance Training Center di Jakarta. Itu bisa dipakai bukan hanya untuk pegawai Pertamina tetapi orang luar pun juga bisa memakainya. Ke tiga, Pertamina secara aktif melakukan kegiatan-kegiatan dengan komunitas HSE baik dengan Depnakertrans, IPA, IAKKI, KLH, dan institusi lainnya.

“ Hasil semuanya itu, nantinya akan memberikan masukan-masukan tersendiri dan itu merupakan bentuk langsung apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan apa kontribusi kita," katanya, tetap semangat.

Bentuk-bentuk lain, CSR Pertamina punya dana untuk mengkampanyekan kegiatan-kegiatan SMK3LL tersebut. Itulah kira-kira kontribusi Pertamina di bidang safety culture untuk masyarakat Indonesia. “Bulan lalu, kami dan Menakertrans mulai meluncurkan program safety culture lewat Metro TV, “ katanya, berpromosi sambil mengakhiri bincang-bincang kami dengan DR. Waluyo.

*) Foto Tempointeraktif. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah KATIGA dengan penulis yang sama.

Minggu, 27 Februari 2011

Challenging the Big Brands


Oleh : Sumardy (Senior Business Analyst at MarkPlus&Co **)

Banyak buku dan konsep yang membahas tentang berbagai praktek-praktek yang dilakukan oleh para pemimpin pasar, tidak heran jika seorang pakar merek, David A Aaker sampai mengeluarkan buku berjudul Brand Leadership. Pertanyaannya adalah apakah di dunia ini hanya ada satu merek? Dan jika semua diajari untuk mejadi pemimpin, bukankah semuanya hanya akan diajarkan jadi pemimpin? Padahal pemimpin pasar hanya satu!

Tidakkah merupakan sebuah kehormatan jika sebuah merek justru dapat menjadi merek penantang yang terhormat. Boleh saja di satu kategori ada brand leader, tetapi juga akan sangat terhormat jika dapat menjadi challenger brand yang baik bukan?

Bagaimana mungkin ada sebuah brand leader tanpa adanya challenger brand? Bagaikan mengejar seorang wanita cantik tanpa ada pesaing, rasanya kering :)

Konsumen adalah wanita cantik, kalau sebuah merek cuma bermain sendiri, tidak asyik rasanya. Perang pemasaran adalah sebuah permainan yang harus dinikmati. Untuk itu, memiliki challenger brand yang bagus juga merupakan sebuah teman bermain yang akan selalu menimbulkan kreativitas, bukan?

Lalu, bagaimana kalau berniat meluncurkan sebuah merek yang dapat menjadi merek penantang (challenger brand)? Tidak gampang memang, berikut ada tips menarik dari Adam Morgan yang memberikan resep berupa 8 Credo bagi para challenger brand untuk menggerogoti merek pemimpin pasar.

# Credo 1 : Break With Your Immediate Past

Coba bayangkan, setiap orang dalam satu industri selalu mencoba mempelajari best practice dalam industri tersebut bahkan tidak segan-segan mencari tahu rahasia sukses si market leader dengan harapan bisa menirunya. Kalau ini yang terjadi, bukankah orang yang mencari-cari tersebut hanya akan menjadi peniru? Kalau sudah begitu, kapan bisa melawan si pemimpin, bisanya jadi follower doang!

Dan celakanya berdasarkan pengalaman penulis di milis maupun consulting, banyak member yang justru terjebak pemikiran di atas. Pertanyaannya selalu apakah suatu konsep sudah diterapkan dalam industrinya. Kalau sudah diterapkan dan Anda meniru, Anda hanya jadi follower bukan?

So? untuk menjadi penantang yang hebat, lupakan masa lalu di kategori produk tersebut dan juga masa lalu Anda baik itu sukses maupun tidak. Kalau dulu Extra Joss melihat si pemimpin pasar Krating Daeng dan berpikir meniru, apakah kita akan melihat Extra Joss seheboh sekarang ini? Tentu saja tidak,harus diakui Bintang Toedjoe telah melupakan masa lalu di kategori minuman berenergi ini. Kalau saja dulu Bintang Toedjoe mengikuti cara berpikir para pemasar sekarang ini yang selalu mencari contoh penerapan konsep baru di industrinya, dijamin tidak akan menjadi challenger brand yang cukup meruntuhkan dominasi Krating Daeng.

# Credo 2 : Build A Lighthouse Identity

Buatlah sesuatu yang heboh yang bisa membuat konsumen tergerak untuk tidak hanya sekedar melihat merek Anda, tetapi mencoba merek Anda. Setelah mencoba, selanjutnya terserah Anda?

Masih ingat saat P&G dengan shampoo Pantene yang mengadakan cuci gratis di beberapa kota besar di Indonesia, bahkan saat itu mereka mencanangkan cuci gratis sampai ribuan orang yang katanya menciptakan rekor. Itulah inti dari credo yang ke-2 yang diterapkan Pantene untuk mencoba melawan si Sunsilk. Bagaimana menciptakan sesuatu yang tergolong "heboh" tapi punya "makna" yang bisa menghasilkan gempa bumi bagi singgasana pemimpin pasar.

Ingat juga dengan gebrakan mie sedaap yang mengadakan makan mie bersama sejuta orang (kalau tidak salah) yang harus diakui heboh dan kena! Karena sebegitu banyaknya orang yang merasakan mie tersebut dan harus diakui cukup menggoyahkan konsumen yang selama ini telah mengkonsumsi si market leader.

Lihat juga Bank Mandiri pada saat pertama kali merger dan harus masuk ke retail banking berperang dengan BCA dan juga BNI. Apa yang didengungkan oleh Bank Mandiri? Bank Terbesar di Indonesia! Sesuatu yang heboh dan menusuk hati setiap nasabah. Sudah bank pemerintah, paling besar, asetnya paling banyak. Sebuah merek yang cukup menakutkan saat itu dan sekarang kelihatan hasilnya bukan?

#Credo 3 : Assume Thought Leadership of The Category

Pada dasarnya di pasar itu akan ditemui dua pemain. Pertama adalah market leader yang memang menguasai pangsa pasar dan kedua adalah THOUGHT LEADER yaitu merek yang selalu dibicarakan oleh banyak orang, Top 1 Oil contohnya. Top 1 bukan merupakan market leader, tetapi kenyataannya Top 1 selalu dibicarakan orang hampir tiap hari. Lihat saja milis marketing club yang hampir beberapa minggu membicarakan oil ini. Secara langsung maupun tidak membuat merek ini dikenal di mana-mana dan akhirnya justru dianggap merek yang menakutkan, bahkan mungkin banyak yang kemudian "terjebak" untuk mencoba dan menggunakannya.

Tidak menjadi market leader tidak apa-apa, yang lebih penting adalah menjadi TALK LEADER alias dibicarakan orang dimana-mana! Ayam Bakar Wong Solo(ABWS) bukan merupakan market leader di kategori ayam goreng, tetapi ABWS justru menjadi talk leader dengan program poligaminya (hehehehe). It is a challenger brand!

# Credo 4 : Create Symbol of Reevaluation

Sekali lagi, Extra Joss merupakan contoh yang bagus untuk credo ke-empat ini. Saat sebuah merek baru muncul dan mencoba menantang merek yang sudah jadi pemimpin pasar, maka untuk meyakinkan konsumen, bukankah kita harus menawarkan sesuatu yang membuat konsumen harus berpikir ulang untuk tetap membeli merek si pemimpin pasar.

Simbol di sini dapat berupa logo, kemasan dan sebagainya yang mendorong konsumen untuk berpikir dua kali sebelum membeli kembali merek sang pemimpin pasar.

Kalau Extra Joss muncul dengan sachet-nya dan kemudian dengan gagahnya menampilkan iklan yang menghempaskan botol, bukankah ada simbol baru untuk mengevaluasi kembali kebiasaan kita membeli minuman berenergi dengan botol?

Dan yang menarik, justru simbol botol yang merupakan simbol dari pesaing dijadikan sebagai simbol oleh Extra Joss untuk menghempas pesaingnya.

# Credo 5 : Sacrifice

Saat sebuah merek baru muncul untuk melawan merek yang sudah mapan, apakah merek baru tersebut harus menawarkan semua hal yang ditawarkan oleh sang pemimpin pasar? Jika jawabannya Ya, maka merek baru tersebut mungkin tidak akan pernah berhasil menjadi merek penantang yang harus ditakuti.

Menjadi sebuah challenger brand yang baik membutuhkan pengorbanan. Lihat saja cerita Lion Air. Saat berniat menantang Garuda Indonesia yang sangat powerful, Lion justru menggunakan pesawat McDonnel Douglas yang harus diakui tidak secanggih Boeing yang sudah digunakan Garuda.

Sudah pesawatnya tidak canggih, belum lagi pelayanannya yang memang banyak memunculkan perdebatan dari banyak orang. Tetapi itulah sesungguhnya sebuah merek penantang. Lion Air tidak perlu menawarkan semua yang diberikan Garuda, bukan? Dari segi kenyamanan pesawat, mungkin lebih baik Garuda. Dari segi pelayanan mulai dari proses sebelum, saat dan sesudah keberangkatan, mungkin lebih berpengalaman Garuda.

But who cares? Terbukti Lion sangat menakutkan Garuda dan sekarang Garuda meskipun mengakui masih pemimpin pasar tetapi market share-nya telah banyak digerogoti oleh pemain baru khususnya Lion. Pengorbanan yangdilakukan Lion di sana sini cukup menghentakkan Garuda, bukan?



Download Klik Disini KayaDariAffiliateMarketing 2.0



# Credo 6 : Overcommitment

Saat muncul sebagai sebuah merek yang mencoba menantang si pemimpin pasar, maka selain melakukan pengorbanan di beberapa hal seperti disebutkan di credo kelima, merek tersebut harus memfokuskan berbagai usaha pemasarannya pada berbagai bagian yang menjadi senjata utamanya.

Contoh yang paling menarik adalah Jawa Pos. Memang tidak mudah bagi merek yang satu ini menantang si raja Koran, Kompas. Menyadari bahwa persaingan banyak terjadi di pendistribusian Koran di berbagai distributor koran, Jawa Pos cukup cerdik.

Melihat Kompas cenderung menguasai distributor kelas satu, dan Jawa Pos sadar positioning-nya yang berbeda, maka Jawa Pos pun fokus dan habis-habisan di distributor koran kelas dua. Biarlah yang kelas satu dikuasai para media mapan seperti Kompas, Media Indonesia dan sejenisnya.

Tetapi Jawa Pos habis-habisan untuk mempercepat penetrasinya di pasar, Jawa Pos habis-habisan membuat berbagai program dengan distributor yang tergolong kelas dua ini, mulai dari berbagai reward dan event. Dashyat Man!

Lion Air juga menunjukkan kegilaannya, mengorbankan beberapa bagian pelayanan, tetapi habis-habisan menawarkan sebanyak mungkin rute sehingga menghemat biaya operasional pesawat berbagai dan meniru cara consumer goods dengan menawarkan berbagai hadiah. It works!

# Credo 7 : Use Advertising and Publicity as a High-Leverage Asset

Kalau untuk contoh yang satu ini, memang tiada duanya, sebut saja berbagai merek dari Wing. Selain menawarkan harga murah, salah satu yang cukup mendongkrak pangsa pasarnya dengan cepat adalah iklan yang gencar dan heboh. Tidak heran jika dengan cepat dapat menancap di benak konsumen dan menjadi pertimbangan untuk pembelian.

Mulai dari Daia yang gencar beriklan saat krisis menempa Indonesia dan juga terakhir dengan kasus Mie Sedaap dengan iklannya yang jor-joran cukup menghebohkan dunia per-mie-an, belum lagi sebagai official sponsornya AFI yang juga menciptakan publisitas di mana-mana.

# Credo 8 : Become Idea-Centered, Not Consumer-Centered

Memang pemasar selalu senang dengan kata-kata "berorientasi konsumen, berorientasi pasar" Pertanyaannya, kalau semua berorientasi pasar, lalu siapa yang berhasil menikmati pangsa pasar tersebut. Memang tidak salah berorientasi pasar, tetapi kalau berperan sebagai merek penantang dankemudian berorientasi pasar, bukankah mencoba melawan si pemimpin pasar?

Lebih baik tidak terlalu memikirkan kebutuhan dan keinginan konsumen yang telah dilayani saat ini, lupakan saja (ingat credo yang pertama) dan munculkan ide baru yang mungkin belum terpikirkan oleh pemain yang ada.

Memang agak sulit mencari contoh di Indonesia. Saya melihat contoh yang menarik di persaingan sekolah bisnis MBA di Amerika. Di era tahun 1980-an, siapa yang tidak mengakui kehebatan Harvard Business School (HBS) sebagai sekolah nomor satu, masuknya selalu susah dengan jumlah mahasiswa yang terbatas.

Saat itu, Northwestern University mencoba menantangnya. Kalau menggunakan pemikiran tradisional, mungkin diubah saja peraturannya. Persyaratan masuk sekolah tersebut dipermudah sehingga banyak yang mengambil MBA di sana, kalau menggunakan cara tersebut, itu berarti customer-centered karena calon mahasiswa paling senang kalau masuknya gampang, nilainya mudah, lulusnya gampang (apalagi di Indonesia)

Tetapi Northwestern justru lebih fokus pada ide. Untuk melawan HBS, tidak cukup hanya customer-centered yang justru akan terjebak mengikuti pola HBS. Saat itu sekolah bisnis terlalu fokus pada sebagai sekolah bisnis top saja, belum ada yang spesifik pada bidang tertentu. Akhirnya diputuskan untuk menjadi sekolah pemasaran terbaik di dunia. Kemudian, didatangkanlah berbagai profesor pemasaran hebat, salah satunya adalah Kotler sebagai Nabi-nya pemasaran. Dan tidak tanggung-tanggung, saat itu brand Kellogg juga dipiilih sebagai sponsor bukan karena hanya mampu membayar mahal tetapi karena merek Kellogg dipandang memiliki strategi dan program pemasaran yang tergolong paling hebat di Amerika.

Sudah cocok bukan? Ide menggabungkan profesor pemasaran terhebat dan merek pemasaran terhebat menjadi satu dan membuat sekolah Kellogg Graduate School of Management sebagai sekolah pemasaran No. 1 di dunia.

Kalau sekolah di Indonesia pasti customer-centered, sekolah harus mudah, cepat, bila perlu tidak usah masuk kuliah, tahu-tahu dapat gelar. Tidak heran jika banyak sekolah MBA, DBA dengan gelar yang berharga 5 juta dan dipakai berbagai orang pinter? di DPR sampai wakil presiden.

** Sumardy adalah Sumarketer dan Sumarketer adalah Sumardy. Sumardy yang saat ini bekerja di salah satu perusahaan konsultan pemasaran terkemuka di Indonesia dikenal juga sebagai founder dan moderator mailing list marketing-club, milis marketing pertama dan terbesar di Indonesia.

Sebagai konsultan pemasaran, Sumardy telah terlibat dalam perumusan strategi berbagai produk dan merek di berbagai industri. Selain menikmati kehidupannya sebagai konsultan, Sumardy juga aktif menulis berbagai artikel pemasaran yang enak dibaca dan provokatif di berbagai media cetak lokal maupun nasional. Bagi Sumarketer, menulis merupakan sebuah proses "berhubungan intim" dengan dunia pemasaran yang dapat menghasilkan "anak" berupa tulisan yang berguna dan menginspirasi semua pembacanya. (SWA Agustus 2007)