Senin, 21 Januari 2008

TRAGEDI

Di sebuah perempatan, mereka diturunkan. Satu persatu mereka memencar sesuai dengan kegiatan yang telah disusun dengan jadwal yang pasti. Sore hari mereka harus berkumpul lagi di perempatan yang sama. Sang sopir yang merangkap sebagai juragan lalu mengumpulkan uang hasil kegiatan setiap hari dan itu berlangsung hingga kini.

Memang tidak mudah untuk memecahkan “blunder” ini. Kalau ingin berdikari, mereka harus punya koneksi seperti yang dilakukan sang juragan ini. Ia memiliki koneksi dengan penguasa perempatan di wilayah ia beroperasi. Kekuatannya hanya koneksi, lain tidak. Jangan harap orang bisa seenaknya beroperasi sebab setiap perempatan di seluruh sudut kota Jakarta memiliki tanda khusus yang menandakan seseorang menginduk kepada “asuhan” sang juragan tertentu.

Sebenarnya mereka memiliki kebisaan yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. Sebut saja si Jangkung yang pandai bernyanyi, Si Tambun pandai berpuisi, Si Centil lihai berakrobat, Si Bengal piawai main hipnotis, Si Kupret jago monolog, atau Si Ceking yang aduhai main sulap. Jika seluruh potensi mereka ini disatukan akan membentuk sebuah sinergi yang bisa menjadi kekuatan hebat dan laris manis terserap ke dalam pasar komersial dewasa ini.

Pernah di antara mereka tersembul sebuah gagasan untuk berhenti dari kerja “sapi perah” sang juragan, namun nyali dari beberapa orang yang takut mengalahkan mereka yang memiliki gagasan bagus itu. “Ah kalau terjadi sesuatu nanti gimana?”, kata seseorang menyatakan kekhawatirannya. Membayangkan sesuatu yang pahit selalu menggayuti pikiran siapa pun ketika harus mengambil sebuah keputusan baru. Padahal, ini tak perlu terjadi, toh mereka semua adalah orang-orang yang sangat berpengalaman. Yang perlu dilakukan sebenarnya hanya satu yaitu berani mendirikan wadah baru dan tak lupa menjalin koneksi dengan masyarakat sekitar di mana mereka akan beroperasi.

Yang jadi pertanyaan bagi orang-orang di sekitarnya adalah, mengapa mereka masih saja setia kepada juragan yang satu ini? Sikap mental yang “nrima” terhadap suatu keadaan dan watak jongos--yang boleh jadi menjadi mind stream hampir sebagian besar manusia sehingga elan vital perjuangan nasib sendiri seakan terpendam--di bawah lapisan bawah sadarnya.

Sebenarnya selama ini mereka telah digembleng dalam kawah candradimuka kehidupan sehingga mereka bisa dikatakan sebagai pribadi-pribadi yang kuat dan tangguh.

Setiap tahun memang sang juragan merekrut pemain-pemain baru. Nah disinilah acap muncul satu permasalahan ke permukaan. Satu dua atau bergerombol mereka suka mengelilingi sang juragan dengan tawaran-tawaran yang manusiawi. Memijat, menjilat, dan mengelus-elus sampai sang juragan tidur. Sementara di sisi lain, pemain-pemain lama enggan melakukan karena mereka sadar akan harga diri. “Betapapun martabat dan harga diri tidak pantas disorohkan begitu gampangnya hanya untuk mendapatkan simpati atau dikasihani”, kata salah satu dari mereka dengan tegasnya.

Wajar saja jika sang juragan lebih memilih orang-orang baru yang demikian. Karena sejatinya, hampir semua 'juragan semacam ini' rata-rata tidak punya agama, komsumtif, dan hedonis.
Sebuah ketidakadilan lalu tampak nyata. Setiap hari “kelompok satu” diberi makan pagi nasi telor, sedangkan “kelompok yang lain” hanya dikasih minum air putih dan sepotong ubi rebus, sementara uang yang harus disetorkan kepada sang juragan pun sama.

Sungut-sungut adalah pemandangan sehari-hari yang terus berlangsung di antara mereka di “kelompok lain”, meski tanpa disadari. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi dilingkungan “kelompok satu”. Mereka tampak selalu sumringah, ketawa-ketiwi, dan asyik bernyanyi. Hari-harinya diliputi sebuah harapan-harapan baru karena mereka sangat paham betul, apa maunya sang juragan. Maka tak perlu heran, di manapun mereka berada selalu berusaha berolah fisik, menjulurkan lidah, meregangkan otot, dan melemaskan persendian tangan.

Entah sampai kapan pergulatan “kelompok lain” akan berakhir. Apakah mereka rela seluruh hidupnya hanya akan berakhir dengan sia-sia. Memiliki kebisaan namun tak memberikan makna apa-apa bagi keluarga dam masyarakatnya? Sampai kini, “kelompok lain ini” masih berkubang dalam ketidakberdayaan atau ketidakberanian sehingga tidak ada lagi pilihan hidup. Mereka menjadi seperti yang lain, mati-hidup seakan hanya ditentukan oleh sang juragan. Ini sebuah tragedi!

Tidak ada komentar: