TAMPANEN SEWU KEKALAHAN SADURUNGE NGGAYUH KAMENANGAN KANG WEKASAN (Setiap kegagalan memiliki nilai tersendiri, untuk mencapai keberhasilan yang sesungguhnya).
Selasa, 05 Mei 2015
Penumpah Kopi Indonesia (PKI) | BossIklan.com – Layanan Iklan Gratis
TAMPANEN SEWU KEKALAHAN SADURUNGE NGGAYUH KAMENANGAN KANG WEKASAN (Setiap kegagalan memiliki nilai tersendiri, untuk mencapai keberhasilan yang sesungguhnya).
Rabu, 20 Maret 2013
15 Grammar Goofs That Make You Look Silly [Infographic]
Like this infographic? Get more content marketing tips from Copyblogger.
Jumat, 09 November 2012
22 Ways to Create Compelling Content When You Don’t Have a Clue [Infographic]
And, as has been our style since the beginning, we’re practicing what we preach. This infographic demonstrates how to repurpose existing content in a different media format, get more bang from your archives, and reach new and different audiences in the process.
The graphic is based on 21 Ways to Create Compelling Content When You Don’t Have a Clue by Copyblogger guest writer Danny Iny. We’ve re-imagined the way to present these content-creation tips, while adding a meta-fabulous #22 (you’ll see why).
Special thanks to our friends on the BlueGlass infographic team for making this thing look so good!
Like this infographic? Get more content marketing tips from Copyblogger.
DAPATKAN POIN TANPA MODAL DI http://id.ipanelonline.com/member/index/
Rabu, 29 Februari 2012
Partners in Crime dan Branding Angie
‘If all my friends were to jump off a bridge, I wouldn’t jump with them, I’d be at the bottom to catch them.’
Senin, 31 Oktober 2011
Tidak Ada Yang Mengaku Pengawasnya Cukup
Bukan orang baru di Kemenakertrans, ia memulai kiprahnya di sini, sejak 1982. Keyakinan akan samubarang yen wis titi wancine, Gusti Allah bakal marengake (segala sesuatu jika telah sampai pada waktunya, Tuhan akan memberi jalan), menjadi pegangan hidup laki-laki kelahiran Magelang, 13 Desember 1959. Untuk kesekian kalinya, itu terbukti dan menjadi kenyataan hidup pehobi olah raga yang mengaku menjalani hidup opo anane wae (apa adanya saja) ini.
Bagaimana perlindungan itu dilaksanakan? Menurutnya, saat ini semua unsur material perlindungan sudah ada pada aturan ketenagakerjaan, norma ketenagakerjaan, dan peraturan perundang-undanganan (perpu). Semua itu dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kondisi kerja yang menyangkut penempatan, pengupahan, waktu kerja, hungungan kerja, perikatan hububungan kerja, dan pemberian jaminan kecelakaan. Di negara-negara maju, ujar Muji, hal tersebut sudah tidak menjadi persoalan.
Kalaupun tidak tercapai, ya nggak apa-apa, sambungnya. Akan terus dikejar, itu merupakan suatu motivasi. Ini merupakan kerja keras yang harus terumuskan, dapat dipertanggungjawabkan secara program kepemerintahan, keilmuan, dan etik atau moral. Karena K3 juga merupakan progress, science, tapi juga suatu etik. Jika pencapaian sudah tinggi, safety and health itu adalah personal business, menjadi tanggung jawab moral dari setiap orang, bukan perusahaan. “ Kita akan mengubah suatu kultur, moral. Karena itu yang paling tepat adalah melalui pendidikan,” tegasnya.
Meskipun definisi kecelakaan itu tidak terduga, tidak direncanakan, mengakibatkan kekacauan, sebagai seorang pengawas, bisa memastikannya. “Undang-undangnya konvensi ILO itu mixture bukan give quaranty. Kalau menjamin itu hanya Tuhanlah. Tetapi kalau memastikan, ini suatu proses perhitungan, melalui proses pengujian, pemeriksaan, sehingga kita bisa memastikan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun aman, misalnya,” katanya. Jadi dalam bahasa harus kita luruskan. Konvensi 81 tidak give quaranty tetapi to make sure.
Selasa, 16 Agustus 2011
Tidak ada alasan menolak biaya program K3
Dari sisi pandang pengusaha Erman berempati bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang menghendaki terjadinya kecelakaan di lingkungan kerja. “ Mereka menghendaki karyawannya selamat dan sehat. Dengan demikian produktivitasnya terpelihara, bahkan lebih meningkat dan tidak ada biaya ekstra yang harus dikeluarkan untuk pengobatan atau kematian dan sebagainya,“ tuturnya. Sementara dari sisi pandang karyawan, menurutnya sangat filosofis bahwa mereka bekerja mencari naskah untuk dirinya/keluarganya dengan selalu sehat dan selamat sekaligus bisa meningkatkan karirnya. Dan dari sisi pemerintah, katanya, itu menunjukkan the real political will bahwa pemerintah melindungi warganya, baik masyarakat pengusaha maupun pekerja.
Yang penting dari itu semua, secara makro atau strategi public policy bahwa K3 itu adalah sebuah kebijakan yang memberikan nilai tambah yang hakiki yaitu membangun harmonisasi hubungan industrial. “Kalau perusahaan tidak peduli dengan K3 itu khan pekerja juga merasa tidak diperhatikan,” sentilnya.
Dalam melihat kondisi objektif K3 di Indonesia, Erman Suparno, dari dulu, saat menjadi pejabat negara hingga kini sebagai pelaku K3 tetap konsisten mengatakan bahwa landasan berpijak K3 itu bersumber pada UUD 1945. “ Pada dasarnya kepedulian terhadap K3 itu harus menjadi sebuah gerakan yang mengarah kepada pembudayaan K3. Jadi gerakan membudayakan K3 menjadi kewajiban, “ tegasnya. Itu secara konstitusional sesuai UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yaitu tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tegasnya, lagi.
Mengurai lebih jauh hal tersebut, ia mengatakan pasal itu mengandung makna bekerja yang sehat dan selamat. “ Oleh karena itu menjadi kewajiban kita bersama untuk membudayakannya. Di negara-negara maju K3 itu sudah membudaya, enggak usah diperintahkan semua melekat di dalam hati masing-masing. Pengusaha, pekerja, dan pemerintah, “ katanya. Makanya yang itu, Erman menunjuk judul poster kecil di sudut kanan atas meja kerjanya dengan endorser “trio bintang pejabat negara” pada masanya yakni Yusuf Kalla, dirinya, dan Muhaimin Iskandar yang berbunyi ‘Kita budayakan K3 untuk meningkatkan mutu dan produktivitas kerja’. “Semboyan itu saya ciptakan sejak saya jadi menteri,” akunya.
Coba kembali membuka catatan lama, persisnya kala menjabat menteri, ayah 4 anak kelahiran Purworejo, 20 Maret 1950 ini memang ke mana-mana gencar melakukan gerakan K3. Tindakan kongkret di lapangan seperti apa? “Setiap perusahaan di dalam penandatangan SKB itu wajib hukumnya mempunyai klinik pekerja. Ada satgas K3 yaitu tim khusus untuk mengurusi K3 (dari pekerja untuk pekerja),” kenangnya. Selain itu, Erman juga memberlakukan reward and punishment dan secara implementasi setiap tahun ia mengumumkan perihal penurunan kecelakaan kerja nasional di koran-koran. Dirinya berani memastikan jika K3 sudah membudaya, kecelakaan nihil (zero accident) bakal tercapai.
Itulah kunci membangun harmonisasi hubungan industrial versi Erman Suparno yang diyakini akan membawa dampak ekonomi, sosial budaya dan politik. “ Waktu jadi menteri, setiap saya membuat program pendekatannya selalu sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik. Kalau tidak komprehensif begitu akhirnya jadi wacana doang, “ ujarnya. Tak urung naluri kekritisannya pun akhirnya menghunjam pemerintahan. Ia menganalisis bahwa antara biaya yang dikeluarkan per 5 tahun dan hasilnya (pemilu-Red.) menurutnya tidak optimal. “Maka saya bisa menyebutkan bahwa yang terjadi adalah wasting time and wasting cost, “ tegas Erman. Bukan salahnya sistem pemilu tetapi tidak optimalnya hasil pemilu pemerintahan, jelasnya.
Masih berbicara dalam topik yang sama, ia mendefinisikan pemilu sebagai sarana untuk membuat keputusan, memberikan amanah/mandat kekuasaan kepada pemerintahan. Legislatif, eksekutif, dan yudikatif. “Pemilu adalah sarananya, demokrasi adalah caranya, dan peningkatan kesejahteraan rakyat tujuannya. “ katanya berapi-api. Ia pun mensinyalir terjadinya salah kaprah bahwa pemilu sekedar untuk ajang cari job, bagaimana bisa menjadi anggota dewan, menteri dan sebagainya. “ Kalau istilahnya orang NU itu sudah lepas dari khitahnya…hahaha,” derai tawanya pun tak terbendung. Akhirnya tidak optimal, sambungnya. Makanya, akhirnya pengangguran dan kemiskinan bukan menjadi target hasil, tapi hanya dipakai untuk wacana reforia politik, untuk alat jualan semata.
Balik ke pokok pembicaraan semula tentang K3, politikus PKB yang membidani lahirnya Yayasan Samiaji dan Ketoprak Humor di tengah himpitan krisis berat 1997 ini menegaskan kembali bahwa dalam membangun K3 pendekatannya selalu bertumpu pada tiga azas tadi. Secara sosio budaya, katanya, masyarakat pekerja, pengusaha dan pemerintah pasti menghendaki supaya bekerja itu selamat dan sehat. “Oleh karena itu K3 harus dibudayakan. Komitmen itu tidak perlu dikejar-kejar, ada kesadaran untuk membudayakan K3,” ujarnya. Secara spiritual dalam bekerja doanya khan selamat, tambahnya.
Secara ekonomi, ketika lingkungan kerja sehat karyawan pun sehat, dan itu akan meningkatkan produktivitas, kualitas, efisiensi dan daya saing. Nah setelah ini tercapai ia akan memberi kontribusi berupa pajak dan sebagainya. Kalau semuanya tercapai maka secara sosio politik itu the real action political will dari pemerintahan. Melindungi masyarakat pengusaha dan pekerja. Maka kalau pemerintah melalui departeman yang diamanatkan tidak “nggubris” atau peduli K3 itu namanya tidak melaksanakan amanat. Wong itu di UUD 1945 jelas, tunjuknya.
UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Negara bertanggung jawab memberikan ruang dan kesempatan warganya untuk bekerja itu mengandung makna bekerja itu harus selamat, sehat, dan sejahtera. Implementasi K3 itu harus ada perencanaan, pengawasan, evaluasi. Ini menjadi feed back. Plan-Do-Check-Action, Plan-Do-Check-Action itulah manajemen sistem K3. Ketika saya menggerakkan, action-nya baru 30 persenlah, mestinya harus dilanjutkan, katanya, sunguh-sungguh.
Mengapa program yang dirintisnya itu tak juga dilanjutkan, menurutnya, karena kurangnya kepedulian dari pihak pemerintahan, baik yudikatif, eksekutif, dan legilsatif. Kalau ada kepedulian dan konstitusionalnya dipahami, itu wajib hukumnya. “ Jadi politik anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat itu tidak alasan untuk menolak biaya program K3,” tegas Erman. Itu dari pemerintahan, sedangkan dari pihak pengusaha mustinya ada program Corporate Social Responsibility (CSR).
Tujuan pemerintah adalah membangun pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dan itu harus diterjemahkan oleh siapa pun yang menjadi menteri ekonomi. Oleh karena itu akan menjadi percuma kalau pertumbuhan ekonomi tinggi tapi tidak berkualitas. Nah makna pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertama, terjadi pemerataan dan keadilan pertumbuhan. Jadi yang tumbuh jangan hanya kelompok-kelompok tertentu. Kedua, harus memberikan indeks kesejahteraan masyarakat, pengusaha, pekerja, dan masyarakat umum. Kesejahteraan berupa apa? Kesejahteraan berupa pendapatan, yang seimbang bisa memenuhi kelayakan, ke dua sehat yang terakhir selamat.
Jadi makna kesejahteraan itu, lanjutnya, bukan hanya semata-mata gajinya besar. Gajinya besar tapi bolak-balik ke rumah sakit karena lingkungan kerjanya nggak sehat. K3 itu komponennya khan macam-macam. Ada pencegahan dan lain-lain. Kala itu, waktu departemen yang dipimpinnya hendak membeli mobil saja, berapa pencegahan kesehatan kerjanya. Setiap provinsi saya kasih mobil K3. Itu untuk mengecek ke pabrik-pabrik. Dampak lingkungan, cek fisik ada penyakit apa tidak. “Ha itu harus ada gerakan nasional K3, “ jelasnya. Makanya K3 boro-boro menjadi budaya nanti bisa pudar lagi. Itu harus ada pemahaman betul oleh sang penguasa yang diberi kuasa untuk kebijakan itu. Menurut saya, kalu program menteri sebelumnya baik, menteri berikutnya ya harus meneruskan, ajaknya.
Sebuah media masa menulis ihwal program yang pernah Erman canangkan. Ini berangkat dari sebuah problematik yang ada di pulau jawa yaitu menumpuknya kemiskinan, dan adanya penyakit sosial. Lantas kalau terjadi, misalnya, pelacuran anak di bawah umur atau gadis remaja karena faktor ekonomi, apa solusinya? “Nah siapa pun yang berkuasa, yang jadi manajer negara dalam hal ini presiden, harus punya konsep yang holistik komprehensif itu. Selama tidak punya, ya itu hanya menghabiskan dana saja. “ katanya.
Sama ketika saya memimpin departemen, ungkapnya, saya khan “dasdes-dasdes” (tegas dan cekatan-Red.), istilahnya anak-anak itu konsepnya begitu programnya begini, larinya 100 kita kalang kabut. K3 itu dulu khan ada gerakan massif. Bukan hanya pas peringatan K3 . Setiap saya kunjungan daerah ke pabrik, itu langsung saya genjot K3-nya, terus kemudian gerakan inspeksi mendadak. Seperti gedung di Jakarta, tempat terjadinya kecelakaan sopir yang jatuh, itu khan saya langsung sidak. Waktu itu saya ditentang, menakertrans kok ngurusi gedung. Sopir yang meninggal itu khan tenaga kerja, belanya. “Bahkan ada beberapa gedung yang saya tutup, termasuk gedung jamsostek…hahaha, “ tawanya lepas.
Sejauh pengamatannya, sampai saat ini pelaksanaan K3 di Indonesia masih menghadapi kendala. Baik dari pemerintah, pengusaha maupun para pekerja sendiri. Erman menyebut tiga hal, yaitu kurangnya konsistensi dan political will dari pemerintahan (legislatif pemegang politik anggaran) dengan porsi yang proporsional terhadap gerakan K3, kurangnya perhatian pemerintah dalam mengusulkan secara konstitusional dan professional ke dewan tentang anggaran program, dan masyarakat pelaku K3 (pengusaha dan pekerja) belum memprioritaskan safety first. Jadi safety first itu belum dibudayakan dan membudaya di lingkungan pekerja, ungkapnya.
Yang tak kalah penting, menurutnya, adalah law enforcement yang lebih tegas dari pemerintah. Terus terang ia kurang setuju dengan pengenaan sanksi yang ringan manakala terjadi suatu kecelakaan. Menyikapi kenyataan tersebut, dulu ia pernah mengusulkan perubahan undang-undang namun hingga sekarang ini, belum berhasil. “Kalau kesadaran K3 itu betul-betul telah merasuk dan menjadi kesadaran utama di setiap masyarakat pengusaha dan pekerja maka secara otomatis corporate culture akan terbentuk,” katanya, yakin.
Bagaimana menstimulasinya, juga adakah yang bisa dilakukan, misalnya, di sektor pendidikan, agar K3 di Indonesia lebih baik? Tidak harus menunggu pemerintah. Namun menurutnya, harus dibantu dengan lembaga SMK3. Yang menjadi persoalan adalah masalah biaya. “Kalau biaya sendiri ya berat, makanya harus ada subsidi, “ katanya. Sementara di sektor pendidikan, setiap penyelenggara sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi harus sadar betul bahwa output-nya adalah angkatan kerja. Oleh karena itu mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan sosialisasi atau lebih baik lagi memasukkannya dalam kurikulum selama satu semester untuk pengenalan ketenagakerjaan, karena K3 merupakan bagian dari strategi manajemen ketenagakerjaan itu sendiri. Tidak heran, waktu itu, muncul idenya untuk mengadakan Kios 3 in 1, semacam lembaga pelatihan yang memadukan sertifikasi dan penempatan tenaga kerja dalam layanan satu atap.
DR. Ir. Erman Suparno, MBA, Msi, hari-harinya terus diabdikan bagi kemajuan perusahaan, organisasi sosial kemasyarakatan hingga kepentingan bangsa. Maka jangan heran jika suatu ketika Anda menemukan dia di perkumpulan pedagang bakmi dan baso, perkumpulan penggemar keris, ketoprak humor, hingga seminar nasional atau internasional. Satu, yang tak boleh dipandang sebelah mata adalah konsep Erman dalam manajemen membangun negara bangsa.“ Hanya ada 2 variable utama, yaitu pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang kita miliki, “ tegasnya. Membangun SDM itu ada 3 sistem yang tidak boleh dipisah dan dikurangi, yaitu sistem kependudukan yang substansinya mengendalikan jumlah dan kualitas penduduk. Sistem kependidikan, kurikulum harus link and match dengan pengelolaan SDA yang kita miliki. Sistem ketenagakerjaan, angkatan kerja harus diarahkan ke budaya menciptakan pekerjaan bukan mencari pekerjaan. “ Human development dengan sistem itu yang saya sebut holistik komprehensif. The goal-nya adalah SDM yang cerdas, bangsa Indonesia yang cerdas.“ Itulah makna dari mukadimah UUD 1945 yaitu tujuan bernegara itu salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, ujarnya mantap.
Foto dari galeri tokoh. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah KATIGA, ditulis oleh penulis yang sama.
Senin, 15 Agustus 2011
"PDAC akan hambar jika tak dijiwai", kata DR. Waluyo
Minggu, 27 Februari 2011
Challenging the Big Brands
Banyak buku dan konsep yang membahas tentang berbagai praktek-praktek yang dilakukan oleh para pemimpin pasar, tidak heran jika seorang pakar merek, David A Aaker sampai mengeluarkan buku berjudul Brand Leadership. Pertanyaannya adalah apakah di dunia ini hanya ada satu merek? Dan jika semua diajari untuk mejadi pemimpin, bukankah semuanya hanya akan diajarkan jadi pemimpin? Padahal pemimpin pasar hanya satu!
Tidakkah merupakan sebuah kehormatan jika sebuah merek justru dapat menjadi merek penantang yang terhormat. Boleh saja di satu kategori ada brand leader, tetapi juga akan sangat terhormat jika dapat menjadi challenger brand yang baik bukan?
Bagaimana mungkin ada sebuah brand leader tanpa adanya challenger brand? Bagaikan mengejar seorang wanita cantik tanpa ada pesaing, rasanya kering :)
Konsumen adalah wanita cantik, kalau sebuah merek cuma bermain sendiri, tidak asyik rasanya. Perang pemasaran adalah sebuah permainan yang harus dinikmati. Untuk itu, memiliki challenger brand yang bagus juga merupakan sebuah teman bermain yang akan selalu menimbulkan kreativitas, bukan?
Lalu, bagaimana kalau berniat meluncurkan sebuah merek yang dapat menjadi merek penantang (challenger brand)? Tidak gampang memang, berikut ada tips menarik dari Adam Morgan yang memberikan resep berupa 8 Credo bagi para challenger brand untuk menggerogoti merek pemimpin pasar.
# Credo 1 : Break With Your Immediate Past
Coba bayangkan, setiap orang dalam satu industri selalu mencoba mempelajari best practice dalam industri tersebut bahkan tidak segan-segan mencari tahu rahasia sukses si market leader dengan harapan bisa menirunya. Kalau ini yang terjadi, bukankah orang yang mencari-cari tersebut hanya akan menjadi peniru? Kalau sudah begitu, kapan bisa melawan si pemimpin, bisanya jadi follower doang!
Dan celakanya berdasarkan pengalaman penulis di milis maupun consulting, banyak member yang justru terjebak pemikiran di atas. Pertanyaannya selalu apakah suatu konsep sudah diterapkan dalam industrinya. Kalau sudah diterapkan dan Anda meniru, Anda hanya jadi follower bukan?
So? untuk menjadi penantang yang hebat, lupakan masa lalu di kategori produk tersebut dan juga masa lalu Anda baik itu sukses maupun tidak. Kalau dulu Extra Joss melihat si pemimpin pasar Krating Daeng dan berpikir meniru, apakah kita akan melihat Extra Joss seheboh sekarang ini? Tentu saja tidak,harus diakui Bintang Toedjoe telah melupakan masa lalu di kategori minuman berenergi ini. Kalau saja dulu Bintang Toedjoe mengikuti cara berpikir para pemasar sekarang ini yang selalu mencari contoh penerapan konsep baru di industrinya, dijamin tidak akan menjadi challenger brand yang cukup meruntuhkan dominasi Krating Daeng.
# Credo 2 : Build A Lighthouse Identity
Buatlah sesuatu yang heboh yang bisa membuat konsumen tergerak untuk tidak hanya sekedar melihat merek Anda, tetapi mencoba merek Anda. Setelah mencoba, selanjutnya terserah Anda?
Masih ingat saat P&G dengan shampoo Pantene yang mengadakan cuci gratis di beberapa kota besar di Indonesia, bahkan saat itu mereka mencanangkan cuci gratis sampai ribuan orang yang katanya menciptakan rekor. Itulah inti dari credo yang ke-2 yang diterapkan Pantene untuk mencoba melawan si Sunsilk. Bagaimana menciptakan sesuatu yang tergolong "heboh" tapi punya "makna" yang bisa menghasilkan gempa bumi bagi singgasana pemimpin pasar.
Ingat juga dengan gebrakan mie sedaap yang mengadakan makan mie bersama sejuta orang (kalau tidak salah) yang harus diakui heboh dan kena! Karena sebegitu banyaknya orang yang merasakan mie tersebut dan harus diakui cukup menggoyahkan konsumen yang selama ini telah mengkonsumsi si market leader.
Lihat juga Bank Mandiri pada saat pertama kali merger dan harus masuk ke retail banking berperang dengan BCA dan juga BNI. Apa yang didengungkan oleh Bank Mandiri? Bank Terbesar di Indonesia! Sesuatu yang heboh dan menusuk hati setiap nasabah. Sudah bank pemerintah, paling besar, asetnya paling banyak. Sebuah merek yang cukup menakutkan saat itu dan sekarang kelihatan hasilnya bukan?
#Credo 3 : Assume Thought Leadership of The Category
Pada dasarnya di pasar itu akan ditemui dua pemain. Pertama adalah market leader yang memang menguasai pangsa pasar dan kedua adalah THOUGHT LEADER yaitu merek yang selalu dibicarakan oleh banyak orang, Top 1 Oil contohnya. Top 1 bukan merupakan market leader, tetapi kenyataannya Top 1 selalu dibicarakan orang hampir tiap hari. Lihat saja milis marketing club yang hampir beberapa minggu membicarakan oil ini. Secara langsung maupun tidak membuat merek ini dikenal di mana-mana dan akhirnya justru dianggap merek yang menakutkan, bahkan mungkin banyak yang kemudian "terjebak" untuk mencoba dan menggunakannya.
Tidak menjadi market leader tidak apa-apa, yang lebih penting adalah menjadi TALK LEADER alias dibicarakan orang dimana-mana! Ayam Bakar Wong Solo(ABWS) bukan merupakan market leader di kategori ayam goreng, tetapi ABWS justru menjadi talk leader dengan program poligaminya (hehehehe). It is a challenger brand!
# Credo 4 : Create Symbol of Reevaluation
Sekali lagi, Extra Joss merupakan contoh yang bagus untuk credo ke-empat ini. Saat sebuah merek baru muncul dan mencoba menantang merek yang sudah jadi pemimpin pasar, maka untuk meyakinkan konsumen, bukankah kita harus menawarkan sesuatu yang membuat konsumen harus berpikir ulang untuk tetap membeli merek si pemimpin pasar.
Simbol di sini dapat berupa logo, kemasan dan sebagainya yang mendorong konsumen untuk berpikir dua kali sebelum membeli kembali merek sang pemimpin pasar.
Kalau Extra Joss muncul dengan sachet-nya dan kemudian dengan gagahnya menampilkan iklan yang menghempaskan botol, bukankah ada simbol baru untuk mengevaluasi kembali kebiasaan kita membeli minuman berenergi dengan botol?
Dan yang menarik, justru simbol botol yang merupakan simbol dari pesaing dijadikan sebagai simbol oleh Extra Joss untuk menghempas pesaingnya.
# Credo 5 : Sacrifice
Saat sebuah merek baru muncul untuk melawan merek yang sudah mapan, apakah merek baru tersebut harus menawarkan semua hal yang ditawarkan oleh sang pemimpin pasar? Jika jawabannya Ya, maka merek baru tersebut mungkin tidak akan pernah berhasil menjadi merek penantang yang harus ditakuti.
Menjadi sebuah challenger brand yang baik membutuhkan pengorbanan. Lihat saja cerita Lion Air. Saat berniat menantang Garuda Indonesia yang sangat powerful, Lion justru menggunakan pesawat McDonnel Douglas yang harus diakui tidak secanggih Boeing yang sudah digunakan Garuda.
Sudah pesawatnya tidak canggih, belum lagi pelayanannya yang memang banyak memunculkan perdebatan dari banyak orang. Tetapi itulah sesungguhnya sebuah merek penantang. Lion Air tidak perlu menawarkan semua yang diberikan Garuda, bukan? Dari segi kenyamanan pesawat, mungkin lebih baik Garuda. Dari segi pelayanan mulai dari proses sebelum, saat dan sesudah keberangkatan, mungkin lebih berpengalaman Garuda.
But who cares? Terbukti Lion sangat menakutkan Garuda dan sekarang Garuda meskipun mengakui masih pemimpin pasar tetapi market share-nya telah banyak digerogoti oleh pemain baru khususnya Lion. Pengorbanan yangdilakukan Lion di sana sini cukup menghentakkan Garuda, bukan?
# Credo 6 : Overcommitment
Saat muncul sebagai sebuah merek yang mencoba menantang si pemimpin pasar, maka selain melakukan pengorbanan di beberapa hal seperti disebutkan di credo kelima, merek tersebut harus memfokuskan berbagai usaha pemasarannya pada berbagai bagian yang menjadi senjata utamanya.
Contoh yang paling menarik adalah Jawa Pos. Memang tidak mudah bagi merek yang satu ini menantang si raja Koran, Kompas. Menyadari bahwa persaingan banyak terjadi di pendistribusian Koran di berbagai distributor koran, Jawa Pos cukup cerdik.
Melihat Kompas cenderung menguasai distributor kelas satu, dan Jawa Pos sadar positioning-nya yang berbeda, maka Jawa Pos pun fokus dan habis-habisan di distributor koran kelas dua. Biarlah yang kelas satu dikuasai para media mapan seperti Kompas, Media Indonesia dan sejenisnya.
Tetapi Jawa Pos habis-habisan untuk mempercepat penetrasinya di pasar, Jawa Pos habis-habisan membuat berbagai program dengan distributor yang tergolong kelas dua ini, mulai dari berbagai reward dan event. Dashyat Man!
Lion Air juga menunjukkan kegilaannya, mengorbankan beberapa bagian pelayanan, tetapi habis-habisan menawarkan sebanyak mungkin rute sehingga menghemat biaya operasional pesawat berbagai dan meniru cara consumer goods dengan menawarkan berbagai hadiah. It works!
# Credo 7 : Use Advertising and Publicity as a High-Leverage Asset
Kalau untuk contoh yang satu ini, memang tiada duanya, sebut saja berbagai merek dari Wing. Selain menawarkan harga murah, salah satu yang cukup mendongkrak pangsa pasarnya dengan cepat adalah iklan yang gencar dan heboh. Tidak heran jika dengan cepat dapat menancap di benak konsumen dan menjadi pertimbangan untuk pembelian.
Mulai dari Daia yang gencar beriklan saat krisis menempa Indonesia dan juga terakhir dengan kasus Mie Sedaap dengan iklannya yang jor-joran cukup menghebohkan dunia per-mie-an, belum lagi sebagai official sponsornya AFI yang juga menciptakan publisitas di mana-mana.
# Credo 8 : Become Idea-Centered, Not Consumer-Centered
Memang pemasar selalu senang dengan kata-kata "berorientasi konsumen, berorientasi pasar" Pertanyaannya, kalau semua berorientasi pasar, lalu siapa yang berhasil menikmati pangsa pasar tersebut. Memang tidak salah berorientasi pasar, tetapi kalau berperan sebagai merek penantang dankemudian berorientasi pasar, bukankah mencoba melawan si pemimpin pasar?
Lebih baik tidak terlalu memikirkan kebutuhan dan keinginan konsumen yang telah dilayani saat ini, lupakan saja (ingat credo yang pertama) dan munculkan ide baru yang mungkin belum terpikirkan oleh pemain yang ada.
Memang agak sulit mencari contoh di Indonesia. Saya melihat contoh yang menarik di persaingan sekolah bisnis MBA di Amerika. Di era tahun 1980-an, siapa yang tidak mengakui kehebatan Harvard Business School (HBS) sebagai sekolah nomor satu, masuknya selalu susah dengan jumlah mahasiswa yang terbatas.
Saat itu, Northwestern University mencoba menantangnya. Kalau menggunakan pemikiran tradisional, mungkin diubah saja peraturannya. Persyaratan masuk sekolah tersebut dipermudah sehingga banyak yang mengambil MBA di sana, kalau menggunakan cara tersebut, itu berarti customer-centered karena calon mahasiswa paling senang kalau masuknya gampang, nilainya mudah, lulusnya gampang (apalagi di Indonesia)
Tetapi Northwestern justru lebih fokus pada ide. Untuk melawan HBS, tidak cukup hanya customer-centered yang justru akan terjebak mengikuti pola HBS. Saat itu sekolah bisnis terlalu fokus pada sebagai sekolah bisnis top saja, belum ada yang spesifik pada bidang tertentu. Akhirnya diputuskan untuk menjadi sekolah pemasaran terbaik di dunia. Kemudian, didatangkanlah berbagai profesor pemasaran hebat, salah satunya adalah Kotler sebagai Nabi-nya pemasaran. Dan tidak tanggung-tanggung, saat itu brand Kellogg juga dipiilih sebagai sponsor bukan karena hanya mampu membayar mahal tetapi karena merek Kellogg dipandang memiliki strategi dan program pemasaran yang tergolong paling hebat di Amerika.
Sudah cocok bukan? Ide menggabungkan profesor pemasaran terhebat dan merek pemasaran terhebat menjadi satu dan membuat sekolah Kellogg Graduate School of Management sebagai sekolah pemasaran No. 1 di dunia.
Kalau sekolah di Indonesia pasti customer-centered, sekolah harus mudah, cepat, bila perlu tidak usah masuk kuliah, tahu-tahu dapat gelar. Tidak heran jika banyak sekolah MBA, DBA dengan gelar yang berharga 5 juta dan dipakai berbagai orang pinter? di DPR sampai wakil presiden.
** Sumardy adalah Sumarketer dan Sumarketer adalah Sumardy. Sumardy yang saat ini bekerja di salah satu perusahaan konsultan pemasaran terkemuka di Indonesia dikenal juga sebagai founder dan moderator mailing list marketing-club, milis marketing pertama dan terbesar di Indonesia.
Sebagai konsultan pemasaran, Sumardy telah terlibat dalam perumusan strategi berbagai produk dan merek di berbagai industri. Selain menikmati kehidupannya sebagai konsultan, Sumardy juga aktif menulis berbagai artikel pemasaran yang enak dibaca dan provokatif di berbagai media cetak lokal maupun nasional. Bagi Sumarketer, menulis merupakan sebuah proses "berhubungan intim" dengan dunia pemasaran yang dapat menghasilkan "anak" berupa tulisan yang berguna dan menginspirasi semua pembacanya. (SWA Agustus 2007)